Ketahui Penyebab Autisme Pada Anak

Grahanusantara.co.id, Jakarta – Autisme merupakan gangguan perkembangan yang muncul pada anak usia dini. Autisme adalah kondisi paling umum dalam konstelasi gangguan terkait yang dikenal sebagai gangguan spektrum autisme, juga disebut ASD.

Gangguan spektrum autisme lainnya termasuk sindrom Asperger dan gangguan perkembangan pervasif atau PDD. Autisme dan kelainan spektrum autisme lainnya mungkin sulit didiagnosis, karena gejala dan tingkat gangguan mulai dari yang ringan sampai yang berat berbeda untuk setiap anak.

Beberapa gejala autisme meliputi:

• Penarikan sosial
• Masalah komunikasi verbal atau nonverbal
• Perilaku kaku dan berulang

Dilansir dari Autism Speaks, tanda-tanda autisme biasanya muncul pada usia 2 atau 3 tahun. Beberapa tanda keterlambatan perkembangan terkait autisme bisa muncul lebih awal, sehingga seringkali kondisi ini bisa didiagnosis lebih dini, yaitu sekitar usia 18 bulan. Dalam kasus yang parah, anak autis mungkin tidak pernah belajar berbicara atau melakukan kontak mata. Namun, penelitian menunjukkan bahwa perawatan dini bisa memberi dampak positif di kemudian hari bagi anak dengan autisme.

Para ahli tidak tahu persis apa yang menyebabkan autisme. Namun, kondisi tersebut bisa terjadi akibat masalah di bagian otak yang menafsirkan masukan sensorik dan proses bahasa. Menurut National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS), autisme disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan lingkungan.

Penelitian terbaru mengonfirmasi beberapa kelainan genetik yang dapat memengaruhi seseorang terhadap autisme. Beberapa gen telah terlibat. Autisme juga bisa menurun dalam keluarga, jadi kombinasi gen tertentu dari orangtua bisa meningkatkan risiko anak untuk mengalami kondisi tersebut.

Selain itu, mungkin ada faktor metabolik atau biokimia yang dapat menyebabkan gangguan spektrum autisme. Penelitian lain melihat pemicu lingkungan, termasuk paparan virus tertentu. Meski begitu, sejumlah studi komprehensif benar-benar membantah hubungan yang diklaim antara vaksin dan ASD.

Selama dekade terakhir, ada peningkatan dramatis dalam jumlah kasus autisme yang didiagnosis di AS dan di seluruh dunia. Para ahli tidak tahu apakah ini karena kelainan sebenarnya sedang meningkat atau apakah dokter hanya mendiagnosisnya secara lebih efektif.

Paparan pestisida juga dikaitkan dengan autisme. Beberapa studi telah menemukan bahwa pestisida dapat mengganggu gen yang terlibat dalam sistem saraf pusat, kata Dr. Alice Mao, seorang profesor psikiatri di Baylor College of Medicine di Houston.

Para ilmuwan berpikir bahwa bahan kimia dalam pestisida dapat berdampak buruk secara genetis dan cenderung akan mengalami autisme. Selain itu, bayi yang terpapar obat-obatan tertentu di dalam rahim, termasuk asam valproat dan thalidomide, ditemukan memiliki risiko autisme yang lebih tinggi.

Thalidomide adalah obat yang pertama kali digunakan pada 1950-an untuk mengobati mual di pagi hari, kecemasan, dan insomnia. Obat itu ditarik dari pasar setelah dikaitkan dengan cacat lahir, namun saat ini diresepkan untuk kelainan kulit yang parah dan sebagai pengobatan untuk kanker.

Wanita hamil yang mengonsumsi obat atau bahan kimia tertentu, seperti alkohol atau obat anti kejang juga lebih mungkin melahirkan anak dengan autisme.

Selain itu, faktor lain yang menjadi penyebab autisme juga kerap dikaitkan dengan usia orangtua. Perempuan yang berusia 40 tahun memiliki risiko 50 persen lebih besar untuk memiliki anak autis ketimbang perempuan di rentang usia 20–29 tahun.

Para peneliti tidak yakin mengapa usia orangtua dapat memengaruhi risiko autisme, namun itu mungkin terkait dengan mutasi genetik yang terjadi pada sperma atau sel telur ketika orangtua bertambah tua.

Daerah-daerah tertentu di otak, termasuk korteks serebral dan otak kecil telah terlibat dalam autisme, di mana otak ini dianggap bertanggung jawab atas pengaturan konsentrasi, gerakan, dan suasana hati.

Penyimpangan dalam tingkat neurotransmitter, seperti dopamin dan serotonin, juga dikaitkan dengan autisme. Masalah dalam mengatur dopamin dapat menyebabkan masalah dengan konsentrasi dan ketidakmampuan bergerak, sedangkan kesulitan mengendalikan kadar serotonin dapat menyebabkan masalah suasana hati.