Pelacuran di rumah Bordil Jepang Abad ke-18

Grahanusantara.co.id, Medan —Pelacuran tidak selamanya buruk. Ia menjadi kisah latar roman masa lalu bahkan di novel-novel, latar warung atau toko pelacur sering dimuat.

Seperti cerita oleh Pramoedya, jangan-jangan pelacuran mencetuskan suatu peristiwa yang terkenang dalam sejarah.

Ya, orang sungkan berbicara pelacuran. Penggunaan istilah pelacur berkonotasi negatif jika dihubungkan dengan manusia kata Junus Satrio Atmodjo, Pembina Yayasan Negeri Rempah. Ia melanjutkan bahwa pelacuran menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Bahwa ia tidak bisa dilepaskan oleh jalur rempah dan pelabuhan merupakan rute pergerakan seseorang dari suatu tempat ke tempat lainya. 

Kita bisa membayangkan para pelaut terdahulu berbulan-bulan di atas kapal. Pastinya singgah untuk memenuhi logistik. Di situlah mula cerita pelacuran. Pelabuhan enjadi ketersediaan kebutuhan para pelaut dan ketersediaan wanita penghibur.

Hal yang tak bisa dipisah pada pelayaran adalah batiniah dan badaniah. Di pelabuhan ia bertemu orang berbeda dan ingin melepaskan hal-hal selama pelayaran. Mereka mencari teman, pelacur itu berasal dari bahasa melayu dari kata lacur, sesuatu yang di luar sistem. Pelacur adalah orang orang di luar sistem sosial masyarakat. mereka dianggap oleh orang marjinal.

Perjalanan laut, terutama jalur khatulistiwa menurut Junus tidaklah mulus. Badai dan ombak tinggi menerpa perjalanan. Pelayaran bukan hanya petualangan. Tetapi juga menjadi hal yang menakutkan.

Seorang pelaut membutuhkan kasih sayang. Melepas kehidupan yang keras karena di kapal, hampir tidak ada waktu untuk istirahat. Junus mencontohkan pedagang Tiongkok abad 14 yang membagi kompartemen kapal yang diisi oleh para pedagang. Para pedagang itu harus menjaga barang daganganya dari kapal yang bergoyang dan gangguan tikus yang ikut ke kapal. Seperti itu gambaran melaut.

Menyewa pelacur adalah cara mengembalikan diri jadi manusia ucap Junus. Menyampaikan cerita-cerita yang tidak bisa diceritakan ke sesama pelaut.

Di Inggris, wanita Afrika didandani sebagai orang Eropa dan itu menjadi kemasan marketing supaya meemberikan kesan eksotis. 

Seorang pelacur tidak datang dengan sendirinya. Banyak diantaranya diambil paksa, terutama pada abad ke-18 saat perdagangan rempah marak. Di Jakarta misalnya, mereka yang menjadi pelacur adalah orang yang menjadi budak.