Politik Hingga Radikalisme, Nasehat dari KH. Said Aqil Siradj di Hari Santri Nasional

Jakarta – Tokoh Agama Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siroj menggelar peringatan Hari Santri Nasional di Gedung Kesenian Jakarta.

Bertempat di Gedung Kesenian Jakarta, Jl Gedung Kesenian, Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Selasa (22/10/2019) turut hadir Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Selain itu, tampak juga Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan politikus Partai Gerindra Sandiaga Uno.

Dalam sambutannya, Said Aqil mengatakan penggunaan sentimen di ruang politik semakin menguat belakangan waktu. Menurutnya, hal itu bermula dari Pilkada DKI hingga Pilpres 2019 banyak kelompok yang memanfaatkan untuk meraih kekuasaan.

“Pada akhir-akhir ini penggunaan sentimen agama dan ruang politik semakin menguat, dimulai dari peristiwa Pilkada DKI, melahirkan gerakan politik 212, sampai pada pemilihan presiden kemarin, politik identitas yang memanfaatkan kedangkalan pemahaman beragama, tampaknya akan terus digunakan oleh kekuatan-kekuatan politik untuk meraih kekuasaan,” ujar Said Aqil.

Said Aqil menyebut eksklusivitas, intoleransi, dan radikalisme beragama khususnya di kalangan umat Islam semakin hari semakin menguat. Hal itu, kata dia, terbukti dari sejumlah laporan penelitian menunjukkan peningkatan intoleransi dan radikalisme beragama.

“Laporan survei Wahid Foundation misalnya, menyebutkan bahwa pada tahun 2017 mayoritas muslim dan muslimah 57,1 persen bersikap intoleran kepada kelompok yang tidak disukai. Presentasi tersebut meningkat dibandingkan dengan survei tahun 2016 sebesar 51 persen,” jelasnya.

Bahkan, kata Said Aqil, sejumlah aparat sipil negara, TNI-Polri, BUMN mulai banyak yang terpapar paham radikal. Menurutnya, hal itu bukan omong kosong, lantaran yang mengatakan ini tidak lain eks Menteri Pertahanan Jenderal Ryamizard Ryacudu.

“Eksklusivitas, intoleransi, dan radikalisme beragama ini bukan saja merusak agama Islam, tetapi juga merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenapa disebut merusak agama? Karena pada prinsipnya Islam menghargai kebinekaan. Karena intoleransi dan radikalisme inilah sesama anak bangsa saling mengkafirkan, saling menyalahkan, bahkan saling memusuhi,” katanya.

Selain itu, lebih jauh Said Aqil mengatakan kelompok yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara juga mengalami peningkatan. Mereka, kata dia, berpandangan bahwa Pancasila itu bertentangan dengan Islam.

“Padahal melalui Muktamar NU di Situbondo para kiai telah memutuskan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan sila-sila yang ada dalam Pancasila merefleksikan nilai-nilai Islam. Karena itulah NU menjadi organisasi pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya,” ucapnya.