Yusril Jelaskan 3 Cara Penundaan Pemilu 2024

Grahanusantara.co.id, Medan – Pakar hukum tata negara sekaligus Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra membeberkan tiga cara agar penundaan pelaksanaan Pemilu 2024 menjadi absah atau mendapatkan legitimasi.
Wacana penundaan Pemilu 2024 belakangan kembali ramai menjadi pembicaraan. Kali ini datang dari Ketum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dan Ketum PAN Zulkifli Hasan.

Cak Imin mengusulkan penundaan Pemilu 2024 dengan alasan pandemi Covid-19. Ia berkata akan membawa usul itu ke Presiden Joko Widodo.

Usul serupa pernah diutarakan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Dia mengatakan, dunia usaha menginginkan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo atas nama pemulihan pascapandemi.

1. Amandemen UUD 1945
Pertama, Yusril menyatakan pemerintah bisa menempuh jalan amendemen UUD 1945 untuk menunda pemilu.

“Cara ini merupakan dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu,” kata Yusril dalam keterangan resminya, dikutip Minggu (27/2).

Namun, cara satu ini berisiko menimbulkan konsekuensi perpanjangan sementara masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Prosedur perubahan konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 45. Lalu, terdapat Pasal 24 sampai Pasal 32, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah.

Ia menilai, amendemen UUD 1945 bisa dilakukan dengan menambahkan pasal baru terkait dengan pemilihan umum.

Pasal 22E UUD 45 dapat ditambahkan poin baru. Yakni, Pasal 22 E ayat (7) yang berisi norma berikut:

‘Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka MPR berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu.’

Lalu, ayat (8) UUD 45 juga bisa ditambahkan frasa berikut:

‘Semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum’.

“Dengan penambahan 2 ayat dalam pasal 22E UUD 45 itu, maka tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Para anggota dari lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu,” kata Yusril.

2. Dekrit Presiden

Cara kedua, presiden dapat mengeluarkan dekrit sebagai tindakan revolusioner untuk menunda pemilu. Dekrit itu, kata Yusril, bisa diambil presiden untuk menunda pelaksanaan pemilu sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 45 harus diisi dengan pemilu.

Baginya, dekrit merupakan revolusi hukum yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum. Revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat dapat menciptakan hukum yang sah. Tetapi sebaliknya, revolusi yang gagal, menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.

Yusril lantas mempertanyakan apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya nyali untuk mengeluarkan dekrit. Ia menduga Jokowi tidak akan melakukan hal demikian karena risiko politik yang terlalu besar.
“Sebagai tindakan revolusioner, tindakan itu jauh daripada matang. TNI dan POLRI juga belum tentu akan mendukung, meskipun keputusan itu adalah keputusan Presiden sebagai panglima tertinggi. Langkah seperti itu akan jadi boomerang bagi Presiden Jokowi sendiri,” kata dia.

3. Konvensi ketatanegaraan
Jalan terakhir untuk menunda Pemilu yakni dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau ‘constitutional convention’.

Yusril mengatakan, perubahan bukan dilakukan terhadap teks konstitusi, UUD 45, melainkan dilakukan dalam praktik penyelenggaraan negara.

Ia merinci dalam Pasal 22E UUD 45 diatur bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD. Pasal 7 UUD 45 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun. Sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan lagi.

Kedua pasal di atas tidak perlu diubah, tetapi dalam praktik, Pemilu dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali.

“Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dan dengan sendirinya MPR, dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun,” kata dia.

Namun, Yusril menilai konvensi ketatanegaraan tentang penundaan Pemilu sulit diciptakan. Terlebih, masyarakat awam dengan mudah akan menganggapnya sebagai ‘penyelewengan’ terhadap UUD 1945.

“Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi untuk dapat menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Mohammad Hatta tahun 1945 itu,” kata dia. (RAH)