Abdul Gafur dari Era Soekarno Sampai Jokowi

Grahanusantara.co.id – Dokter Abdul Gafur masih tampak bugar. Lelaki kelahiran Patani – Halmahera, Maluku Utara, 20 Juni 1939 itu mengaku sejak awal memasuki usia 70 tahun rajin berpuasa Senin – Kamis. Juga berjalan kaki di sekitaran rumahnya di kawasan Menteng, dan berenang setiap pagi.

“Selain bikin sehat, semua itu membuat saya lebih sabar,” kata Gafur yang merupakan salah satu tokoh aktivis ’66 seperti dilansir detik.com, kemarin.

Bersama Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, Marie Muhammad, David Napitupulu, Akbar Tanjung, Fahmi Idris dan lain-lain, dia adalah tokoh mahasiswa yang berada di garda depan dalam menggulingkan rezim Orde Lama. Pada 10 Januari 1966, mereka bersama ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di tanah air menyerukan “Tritura” atau Tiga Tuntutan Rakyat. Ketiga tuntutan dimaksud adalah, “Bubarkan PKI, Turunkan harga, dan Bubarkan Kabinet Dwikora (100 menteri).”

Dalam rangka memperingati Tritura itulah, pagi ini dia meluncurkan otobiografi bertajuk “Abdul Gafur, Zamrud Halmahera” di Balai Kartini. Buku setebal lebih dari 700 halaman itu diterbitkan Pustaka Sinar Harapan.

“Ketika masih di HIS (setingkat Sekolah Dasar) saya pertama kali melihat Bung Karno menggelorakan motivasi dan mimpi-mimpi untuk berjuang demi republik. Eh, saat mahasiswa saya bersama kawan-kawan menjadi kurang respek karena beliau menolak untuk bubarkan PKI,” tutur Gafur.

Di salah satu bab bukunya, Gafur antara lain memaparkan perjalanan hidupnya yang melewati enam zaman, yakni era penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, Demokrasi Liberal (remaja di Ternate), Demokrasi Terpimpin (Orde Lama), Demokrasi Pancasila (Orde Baru), dan Reformasi.

Di masa Orde Baru, di usia 38 tahun dia dilantik Presiden Soeharto menjadi Menteri Muda urusan Pemuda, 1978-1983. Lima tahun berselang di tetap di kabinet dengan jabatan Menteri Pemuda dan Olah Raga atau disingkat Menpora. “Itu sebutan Menpora saya yang ciptakan dan terpakai sampai sekarang,” ujarnya.

Ada satu hal menarik di balik penunjukan sebagai menteri di periode pertama. Karena pangkatnya kala itu masih Mayor (dokter Gafur menjadi Perwira Kesehatan di Angkatan Udara), Menhankam/Pangab Jenderal M. Panggabean rupanya keberatan Gafur ditunjuk menjadi menteri karena akan merepotkan para pejabat di daerah. “Bila berkunjung ke daerah dan ada pimpinan militernya kan berpangkat Brigjen, masak harus memberi hormat kepada Mayor,” begitu Gafur mengutip keberatan Panggabean.

Presiden Soeharto memahami keberatan tersebut. Tapi kemudian dijelaskan bahwa yang diberi hormat seharusnya bukan Gafur sebagai Mayor tapi sebagai menteri yang merupakan pembantu langsung Presdien. “Setelah dijelaskan demikian, akhirnya Pak Panggabean memahami. Saya dan empat menteri muda lainnya pun akhirnya dilantik selang sepekan setelah para menteri utama,” papar Gafur.

Dikarunia usia hampir 80 tahun, dokter Gafur melintasi enam zaman dengan tujuh presiden. Dengan masing-masing presiden dia mengaku mengenal dan punya pengalaman sendiri, kecuali dengan Jokowi. Dengan Bung Karno dia pernah tiga kali bertemu langsung dan berjabat tangan. Habibie adalah koleganya yang sama-sama mulai masuk kabinet pada 1978.

“Dengan Mega dan SBY saya tidak punya komunikasi langsung, dengan Gus Dur mengenal dekat karena pernah beberapa kali mengundangnya untuk ceramah keagamaan. Pak Jokowi pun saya sama sekali tak kenal,” ungkapnya.

Meksi demikian, dia mengaku amat terkesan dengan gaya kepemimpinan Jokowi yang merakyat dan sederhana. Hal lain yang lebih membedakannya dengan para presiden sebelumnya adalah kunjungan kerja ke daerah-daerah. “Bayangkan, saat baru dua tahun beliau sudah lima kali ke Papua. Pak Harto menjadi Presiden selama 32 tahun hanya dua kali ke Papua,” ujarnya.