Dasar Pemikiran Ekonomi Bung Hatta

Mohammad Athar, atau yang kita kenal dengan nama Mohammad Hatta atau kerap dipanggil Bung Hatta merupakan salah seorang Founding fathers yang juga tokoh proklamator Republik Indonesia bersama Soekarno. Tokoh yang menurut Umer Chapra dalam percakapannya dengan Sri-Edi Swasono menilai bahwa Hatta adalah seorang yang arif dan bijaksana yang memiliki kemampuan melihat jauh kedepan.

Hal ini dibuktikan dengan kedudukan Bung Hatta yang menempati kedudukan sentral dalam konteks sejarah Indonesia dan selalu menjadi rujukan jika berbicara tentang demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Sedemikian peran aktif Bung Hatta dalam perjuangan mendirikan sebuah bangsa yang merdeka banyak diantara pemerhati sejarah dan masyarakat yang mengelompokan Bung Hatta kedalam kelompok nasionalis bersama tokoh lainnya yaitu Soekarno, Soepomo, Sjahrir dan lain-lainnya dimana sebagaimana sejarah mencatat persiapan kemerdekaan Indonesia diwarnai 2 (dua) kelompok besar dalam menentukan letak dasar Negara, yaitu “kelompok Islam” seperti Ki Bagus hadikusumo, Abdul Kahar Muzakar, Moh. Nasir, Syafruddin Prawiranegara dan lain-lain dan kelompok lainnya yaitu “kelompok Nasionalis”. Penempatan pengelompokan yang ditujukan kepada Bung Hatta sebagai “kelompok Nasionalis” tidak dapat terlepas dari perannya menghapus 7 (tujuh) kata dalam piagam jakarta menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Yang menarik dari Bung Hatta ialah beliau merupakan orang yang sangat taat menjalankan semua kewajiban agama, hal ini tidak terlepas dari latar belakang keluarga beliau yang memang telah mengajarkan Agama sedari kecil.  latar belakang keluarga dengan agama yang kuat dan ketaatannya kepada Allah menjadikannya atau merupakan dasar Bung Hatta dalam bersikap dan berfikir di segala aktifitasnya.

Hal ini dapat dilihat dalam pandangan Bung Hatta dalam Bidang Ekonomi yang berkata “tujuan yang hendak dicapai negeri ini tidaklah sama dengan yang diinginkan orang di barat. Bagi kita tujuan negara kita ialah sosialisme Indonesia yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa”. Hal ini berarti sosialisme yang dikembangkan Hatta tidaklah sama dengan sosialisme yang dikembangkan orang di barat yang sekuler dan atau ateis.

Sosialisme yang Beliau bangun tidaklah di copy paste secara langsung dari apa yang ada di barat, tetapi sosialisme yang beliau bangun adalah “sosialisme yang sudah diindonesiakan yang berakar ke dalam pergaulan hidup indonesia yang terdapat pada masarakat desa yang asli yang bercorak kolektif dan mendapat sinar serta penerangan dari agama”. Bahkah menurut Deliar Noer “ia (Bung Hatta) tidak terpengaruh sama sekali oleh liberalisme dan kapitalisme, juga tidak pada ajaran marx. Hatta malah ingin membangun sistem ekonomi sendiri yang bukan smithian dan bukan marxian, tetapi sebuah sistem ekonomi khas Indonesia”.

Aplikasi dari konsep tersebut telah dirumuskan oleh Bung Hatta sebagaimana yang termuat dalam pasal 33 UUD 1945. Hal ini menunjukan bahwa secara ideologis beliau ingin membangun sebuah sistem ekonomi ang sesuai dengan watak bangsa Indonesia yang religius dan memiliki nilai-nilai luhur yang menjunjung tinggi prinsip dan cita-cita tolong-menolong bukan mementingkan diri sendiri (individualisme), sekuler dan atau ateistis. Sehingga secara praktis, beliau melihat diperlukannya sebuah politik ekonomi sehat yang akan merumuskan kebijakan jangka pendek dan jangka panjang sehingga jelas arah pembangunan itu kemana.

Harus ada korrdinasi yang mengatur tentang pembagian wilayah kerja antara Pemerintah, Koperasi dan pelaku ekonomi swasta. Pembagian tersebut secara lebih terperinci menurut Bung Hatta adalah sebagai berikut:

“Usaha jang besar-besar hanja dapat dilaksanakan oleh Pemerintah, kalau perlu pemerintah dapat meminjam kapital jang agak besar djumlahnja dan menjewa management jang pada tempatnja dari luar negeri. Koperasei bertugas menjusun pembangunan dari bawah, mengerdjakan usaha jang katjil-ketjil dan sedang untuk berangsur –angsung meningkat ke atas. Di antara bidang jang dua itu, terletak ruang jang dapat diusahakan oleh orang-orang parttikulir dengan tenaga dan kapital jang dapat mereka kumpulkan sendiri”

Dari penjelasan Bung Hatta diatas terlihat konsep tentang bagaimana menegakan dan menciptakan suatu masyarakat yang baik dan sejahtera, dimana Pandangan Hatta yang seperti ini tentu sangat sejalan dengan Maqashid al syariah dan atau tujuan dari ajaran islam.

                Sebagai seorang muslim yang taat dalam menjalankan ajaran agamanya Bung Hatta meyakini “Islam seharusnya menjiwai segala-galanya, menjadi pemimpin dan petunjuk dalam segala tindakan, yang menurut beliau Islam harus menjadi roh, sumber nilai, sumber inspirasi dan sumber motivasi bagi orang islam dalam menjalani dan kehidupannya sehari-hari termasuk dalam kehidupan ekonomi.

Maka tugas masyarakat Indonesia menurut Bung Hatta harus membangun suatu masyarakat yang melaksanakan keadilan ilahi, yaitu keadilan yang setinggi-tingginya, dan langkah ini boleh dikatakan menuju kepada keadilan sosial. Menurut Bung Hatta mendirikan negara merdeka jangan disamakan saja dasar-dasarnya dengan negara-negara di Eropa, jangan di tiru sejarah negara-negara Barat yang mengalami pertentangan antara agama dan negara karena Bung Hatta menginginkan suatu negara yang lain dari model-model negara yang ada di barat.

                Bung Hatta ingin Indonesia terbangun suatu bentuk negara baru yang tidak merupakan negara agama dan bukan pula negara sekuler tetapi juga tidak mau meninggalkan ajaran agama. Bung Hatta sangat yakin akan kebenaran agama Islam yang dianutnya. Keyakinan beliau bahwa Islam yang sebenarnya, akan dapat diterima oleh siapapun, asal dia tidak membawa-bawa dan mempergunakan simbol-simbol keislaman itu sendiri karena hal demikian akan menimbulkan resistensi dan sentimen keagamaan anatara pemeluk agama.

Oleh karena itu sulit untuk menyatakan bahwa pandangan politik dan ekonomi Bung Hatta adalah sekuler, karena pandangannya sangat erat dan sangat sarat dengan nilai-nilai agama yang dianutnya, yaitu Islam. Beliau tetap konsisten dengan cita-cita sosialisme yang diusungnya, dimana dengan cita-cita tersebut Bung Hatta hendak menciptakan satu masyarakat sosialis baru yang disebut dengan istilah “sosialisme Indonesia” atau Sri-Edi Swarsono menyebutnya dengan ‘sosialisme religius” yaitu sebuah konsep sosialisme yang merupakan “perjumpaan cita-cita sosial demokrasi Barat dengan sosialisme religius (Islam) di mana Marxisme sebagai pandangan hidup matrealisme tetap ditolak”.

                Keyakinan Bung Hatta juga mungkin tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan pengajaran yang ia peroleh dari H, Agus Salim, seorang tokoh dan pemikir Islam yang dikaguminya. Jadi bagi Bung Hatta sosialisme dan Islam tidaklah bertentangan. Disini tampak bahwa Hatta sangat percaya kepada sosialisme tetapi yang dikembangkannya bukan sosialisme marxisme atau sosialisme komunisme. Tetapi sosialisme Indonesia yang dicerahi dengan nilai-nilai ajaran Islam. Untuk itu, tujuan pembangunan ekonomi Indonesia menurut Bung Hatta haruslah diarahkan kepada bagaimana menciptakan suatu masyarakat Ondonesia yang adil dan menurut Bung Hatta hal tersebut dapat terwujud apabila republik Indonesia yang akan dibangun tidak saja berdasarkan politik sosial, tetapi juga mempunyai dukungan moril dan agama.

                Tujuan Ekonomi Hatta dengan berdasarkan nilai-nilai yang ia yakini yaitu masyarakat adil makmur menurut Hatta berisikan “kebahagiaan, kesejahteran, perdamaian dan kemerdekaan”. Pertama, Kebahagiaan. yang dimaksud kebahagiaan oleh Bung Hatta apabila basic needs atau kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi baik berupa pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan untuk anak-anaknya.

Kedua, kesejahteraan. Dimana seorang dikatakan sejahtera ketika ia sudah tidak lagi disibukan oleh urusan pemenuhan kebutuhan pokok namun ia sudah mulai terlibat dalam pemenuhan kebutuhan sekunder bahkan terseier.

Ketiga, perdamaian. Yang menurut Bung Hatta kita dituntut untuk bisa menjalin persahabatan dan mampu hidup berdampingan secara damai dengan bangsa-bangsa dan negara-negara lain di dunia adar dapat mempermudah segala transaksi dan perdagangan internasional yang dilakukan untuk dapat mencukupi keperluan masyarakat dan negara.

Dan keempat, kemerdekaan. Dimana kemerdekaan disini tidak saja mengenai kemerdekaan dari penjajahan, tetapi meliputi juga kemerdekaan manusia pribadi, merdeka mengeluarkan pendapat, bebas memeluk agama, bebas dari rasa takut dan bebas dari kesengsaraan hidup.                 Dari semua pemaparan diatas menunjukan tujuan Pembangunan Ekonomi yang ditawarkan Bung Hatta tidak hanya sekedar mencapai pertumbuhan dan perkembangan fisik material semata, tetapi juga spiritual. Keadaan demikian menjadikan masyarakat Indonesia dalam melakukan pergaulan dalam bidang sosial dan politik senantiasa tidak menjadikannya split personality namun menjadi manusia yang utuh unity personality ia sebagai umat islam (beragama) dan ia sebagai masyarakat Indonesia (berkewarganegaraan) dalam mencapai