Risalah Persatuan Soekarno

Entah bagaimana tertjapainja persatuan itu; entah pula bagaimana rupanja persatuan itu; akan tetapi tetaplah, bahwa kapal jang membawa kita ke-Indonesia-Merdeka, jalah Kapal-Persatuan adanja!. Ir. Soekarno, “Suluh Indonesia Muda”, 1926.

Begitulah setidaknya sepenggal maqolah dari salah satu The Founding Fathers negeri ini yang mencita-citakan kebersatuan, keselarasan, ketersaling berpahaman, semangat gotong royong diantara tiga elemen ideologis bangsa yang menyebar dan memiliki pengaruh dalam ritus paham kemasyarakatan pra-kemerdekaan kala itu, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme – yang oleh kebanyakan ahli sejarah disebut pula dengan akronim NASAKOM-.  

Dengan bersatunya sendimen ideologis tersebut, Ir. Soekarno –Bung Karno sapaan akrabnya- yakin betul bahwa identitas baru ke-Indonesia-an bisa diketengahkan, melalui semangat perjuangan yang sama yakni melawan imperialisme dan kolianialisme yang membelenggu serta membawa terealisasiya cita-cita kemerdekaan Indonesia yang hakiki.

Ide Persatuan

Bung Karno dikenal sebagai sosok yang intoleran terhadap praktek imperialisme dan kapitalisme. Dalam kaca matanya, paham ini banyak melahirkan kesengsaraan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh penguasaan ekonomi terhadap suatu negara oleh negara yang lebih digdaya yang diejawantahkan dalam bentuk eksploitasi kemanusiaan yang tidak manusiawi. Dengan semangat penghapusan terhadap sistem kolonialisme serta mendorong kemandirian bangsa-bangsa terjajah untuk berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) menjadi semangat yang tak pernah usang untuk diperjuangkan oleh putra sang fajar ini.

Sehingga tepatnya pada tahun 1926, bermula dari sebuah artikel yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, Bung Karno memulai risalah persatuannya tentang gagasan penyatuan tiga konsep “isme” besar. Sebagai sebuah tesis jalan keluar dari polemik yang ditimbulkan oleh imperialisme dan kapitalisme tersebut. Nasionalisme dipahami oleh Bung Karno sebagai pemersatu yang kemudian dijadikan tumpuan penyeimbang antara Islamisme dan Marxisme. Nasioalisme dalam konteks ini bukanlah nasionalisme yang chauvinis yang semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka atau dalam terminologinya disebut juga sebagai sebuah paham cinta bangsa secara berlebihan. Namun lebih dari itu, idealitas nasionalisme akan terwujud bila yang dikedepankan adalah rasa cinta terhadap prinsip hidup kemanusiaan. Baginya maka rasa cinta akan bangsa itu adalah lebar dan luas sehingga membuka semua tempat bagi kelompok ideologi lain untuk duduk bersama mendiskusikan dan menyepakati kesamaan tujuan.

Begitupula dalam memahami Islamisme, Bung Karno (Suluh Indonesia Muda:1926) meggambarkan bahwa, Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibannya yang menjadi kewajiban-kewajibannya nasionalis pula. Sebagaimana dapat penulis contohkan sepenggal prinsip sosial yang diajarkan Islam. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, bahwa Nabi Muhammad berkata, “Tidak sempurna iman orang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya kelaparan”. Atau dalam konteks Nasionalisme, konsepsi Hubbul Wathan minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman) merupakan frasa yang terus bergema dan wujud implementasi dari semangat perlawanan Islam menuju kemerdekaan Indonesia. Jadi, bukankah Islamistis itu merupakan Nasionalistis dan Sosialistis itu sendiri –walaupun sosialistis itu belum tentu bermakna marxistis-. 

Selanjutnya, menilisik pandangan terhadap Marxisme, Bung Karno konsisten terhadap prinsip dasar perjuangan Marx dengan menentang imperialisme dan kapitalisme. Menurutya kapitalisme adalah jurang dari timbulnya perpisahan antara buruh dengan para pemilik modal. Melahirkan beberapa kelas sosial  yang sesungguhnya itu tak perlu adanya bila keadilan dan kesetaraan sosial itu lebih diutamakan.

Meski begitu, Bung Karno tidak serta merta menelan mentah-mentah pemikiran Marx untuk ditawarkan sebagai sebuah sintesa pemikiran ideologis. Soekarno menganalisisnya kembali untuk disesuaikan dengan konteks ke-Indonesia-an. Oleh karenanya, Pria kelahiran Surabaya, 06 Juni 1901 ini, mengeluarkan sebuah maklumat bahwa selayaknya pergaulan Marxis harus diubah sifatnya mengikuti arus wadah pergaulan Marxis itu hidup. Sebagaimana diungkapkan oleh Bung Karno, “Marxisme di Indonesia ini harus pula menyokong pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalis dan Islamis”. Dengan begitu Soekarno menyebut inilah yang dinamakan sebagai taktik perjuangan Marxis yang baru, yang tidak mempertentangkan yang Nasionalis dan Islamis dengan menjadikan kawan seperjuangan. Sebagaimana telah terjadi di negeri Tiongkok dan Afganistan. Di mana persahabatan antara Marxis, Nasionalis dan Islamis itu lahir.

Pertaruhan Yang di Gagalkan

Tiga konsep besar ideologis itulah yang ingin dipersatukan oleh Bung Karno –yang oleh penulis disebut sebagai risalah persatuan- menjadi dasar sebuah ideologi negara yang maha dahsyat. Dengan dasar dan maksud untuk mengikat seluruh elemen kemasyarakatan untuk berjuang bersama-sama. Meyakinkan yang Marxis agara menerima prinsip ketuhanan dan meyakinkan yang Islamis bahwa prinsip berpikir ala Marx merupakan satu pokok pemikiran brilian utuk mengembalikan keadilan sosial kembali. Dengan prinsip dasar nasionalisme Indonesia sebagai poros tengahnya dan mengeyampingkan doktrin pertentangan selama ini. Maka kejayaan Indonesia akan sampai di depan Mata. Keyakinan inilah yang tetap dipegang teguh sampai Bung Karno menjabat sebagai Presiden RI pertama.

Namun, belum saja ide itu terealisasi, perpecahan maha besar terjadi. Aksi saling culik yang dilakukan PKI terhadap para jendral dan petinggi militer, diwarnai dengan serangan balasan yang dikomandoi oleh Jendral Soeharto kala itu seakan menandakan ternegasinya gagasan tersebut. Tetapi, beberapa kalangan sejarawan percaya bahwa pergolakan yang terjadi bukan berasal dari konflik endapan berbedanya paham. Semua itu tak lepas dari intervensi yang dilakukan oleh Amerika melalui agensinya CIA, sebagai upaya membendung pengaruh Komunisme di Asia. Tak pelak lagi, mimpi besar Soekarno yang waktu itu memimpin Indonesia sebagai pemimpin menjadi semacam hal yang utopis. Yang hingga saat ini belum juga terlaksana adanya.

H. G. Wells, seorang penulis Inggris, mengungkapkan sebuah pernyataan sebagaimana dikutip Oleh Soekarno, “umpamannya kaum Bolsevick itu tidak dirintang-rintangi, mereka barangkali bisa menyelesaikan suatu eksperimen yag maha besar faedahnya bagi prikemanusiaan… tapi mereka dirintang-rintangi”. Dan begitupula di Indonesia, kalau boleh penulis meminjam bahasa H.G.Wells, andai saja Bung Karno tidak dirintang-rintangi untuk menyelesaikan gagasan dan merampungka risalah persatuan ini, Indonesia mungkin saja sudah menjadi negara yang berdikari, terbebas dengan makna yang sebenar-benarnya dari pengaruh imperialisme dan kapitalisme.