Memaknai Spritualitas Pendidik

Grahanusantara.co.id, Medan – Ditengah-tengah desakan arus transaksional yang melanda manusia abad XXI ini, berbagai indikator life style masyarakat yang kian berubah, melanjutkan bahasa sosiolog ternama yakni George Ritzer dengan konotasi “siap saji”. Berbagai sajian masyarakat kekinian dihantam dengan berbagai komoditas dari pasokan “pasar” hingga merubah begitu cepat dan membuat pola hidup manusia menemukan wujud baru.

Arus pasar yang sangat mendominasi terhadap aktivitas manusia terkini, kekayaan intelektual tehnologi begitu cepat “memangsa masyarakat” untuk memaksa sebuah trendy hidup. Tidak sedikit, menguras nilai-nilai yang dianggap mapan (established) menjadi pudar. Inilah kemudian, menjadi kekhawatiran apa yang diungkapan oleh Samuel P. Huntington dengan istilah “the Clash Civilization” atau benturan peradaban. Futurolog telah meramalkan aktivitas manusia, dengan akutnya tehnologi yang dapat dikatakan menjadi “ikon” tunggal dalam sumber-sumber informasi, yang kadang mengabaikan “user” atau tokoh tertentu semakin tertinggal jauh. Bahkan, kecenderungan distrust (ketidakpercayaan) terhadap seseorang muncul seperti cendawan ketika musim hujan.

Kehidupan demikian, dihadapkan kepada seorang pendidik (guru) yang notabenenya garis terdepan dalam memanusiakan manusia. Tokoh sentral dalam mewujudkan generasi yang unggul dimasa mendatang, dan bahkan menjadi tempat memintak pertanggung jawaban generasi terhadap kenyataan hidup yang dirasakan manusia. Bertanya kepada guru “ini masa kenapa seperti ini”? pertanyaan lainnya, apa yang sedang terjadi dalam dunia kita? Dan bagaimana guru dalam mendidik? Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang serupa untuk menunjukkan terjadinya keresahan masyarakat terhadap perilaku anak didik yang sangat terbuka dalam berbagai media, sebut saja misalnya tawuran, perilaku amoral, sex party, belum lagi guru yang diserang dan dipenjara.

Apa yang sebenarnya yang salah?
Arus transformasi yang begitu cepat, hingga banyak yang mengatakan ini “eranya kekosongan nilai” dalam pengertian nilainnya “minus spiritual” masyarakat, bahkan telah masuk dalam ranah instansi pendidikan. Yang diisi oleh orang-orang berpendidikan, menghabiskan bacaan buku yang tidak terjumlahkan lagi dan keahlian berdebat utuh menjadi sikap terpatri bagi mereka. Akan tetapi, lagi-lagi tindakan amoral dalam instansi pendidikan diperdapti, perlakuan sex dengan muridnya (mahasiswanya), dan bahkan kasus korupsi sudah banyak terjadi.

Keresahan penulis di atas, menjadi bagian yang terus dipikirkan untuk memutus mata rantai berbagai persoalan yang akut. Bukan berarti menolak perkembangan sosial dan tehnologi, akan tetapi pertumbuhan dan perkembangan harus senantiasa diiringi dengan nilai-nilai yang agung. Dalam bahasa al-Qur’an, adanya nilai ‘fithrah” yang dibawa sejak dalam kandungan oleh setiap manusia. Tentu, tidak berlebihan penulis menjadi mengatakan inilah posisi strategis buku yang akan kita diskusikan dalam paper ini yang ditulis seorang pakar filsafat pendidikan Islam dari UIN Sumatera Utara.

Kenapa? Di tengah tergurasnya nilai “ruhaniyah” manusia abad XXI, melalui pembacaan kritis yang bersifat konseptual dan komparatif terhadap kompetensi kepribadian guru, hadir dihadapan kita bersama. Nilai yang agung terahadap pemaknaan hidup (meaning of life) serta kehadiran dalam akativitas kehidupan melalui tokoh sentral guru (pendidik secara umum).

Spritualitas dan Kompetensi Pendidik
Karya Budiman dapat disoroti dalam dua skema besar. Pertama, persoalan eksistensi spiritual pendidik yang dimiliki sejak awal kehidupan manusia dengan kacamata pemikiran tokoh-tokoh Islam. Ini tentu menjadi dasar secara garis besar yang kemudian dinarasikan secara simultan dan terintegrasi dalam setiap pembahasan. Kedua, persoalan kompetensi pendidik berbasiskan spritual yang dikonstruksikan melalui normatif yuridis peraturan yang berlaku di negara kita, sebut saja undang-undang sistem pendidikan nasional (SNP) tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah tentang penjelasan SNP tahun 2005.
Urgensi sistematika yang akan dimuat dengan rangkaian terstruktur.

Pertama, pembahasan spritualitas pendidik. Pengakuan terhadap potensi yang dimiliki oleh manusia yang merujuk melalui normatif Islam (Al-Qur’an dan Hadis) menjadi pintu masuk untuk menginterpreasi ulang terhadap aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Inilah kemudian, posisi strategis terhadap pembahasan “spiritual” yang notabenenya abstraksi yang diafirmasi melalui tindakan dan sikap setiap menjalani kehidupan. Oleh Budiman, menyimpulkan bahwa spiritual memiliki kompenen yang mendasar dalam struktur diri manusia.

Pembahasan spiritual suka atau tidak suka (like or dislike), harus melalui al-Qur’an dan Hadis serta penjelasan para ulama-ulama terdahulu yang dalam pembahasan ini, oleh penulis buku menguraikan secara term-term pada tiga aspek. Pertama, aspek jismiah dengan segala organ fisik bersifat biologis, sistem kelanjar, dan sistem syaraf manusia. Kedua, aspek nafsiah yang memiliki kompenen al-‘aql, al-qalb, al-nafs. Ketiga, aspek ruhaniah dengan komponen al-ruh dan al-fitrah.

Fokus pada potensi spritualitas manusia, digambarkan pada persoalan komponen yang al-‘aql, al-qalb, al-nafs, al-ruh dan al-fitrah. Inilah jawaban dari penjelasan di atas, bahwa berbicara persoalan spritualitas (Islam) harus melalui pintu masuknya dua sumber utama ditambah dengan pemikiran para ulama-ulama terdahulu. Kelima istilah tersebut menjadi sentral juga menjadi komponen penting dalam kualitas spiritual seseorang terkhusus bagi pendidik untuk menjalankankan aktivitasnya yang memiliki tujuan ideal bagi generasi mendatang berbasiskan religious dan kokoh tauhid. Bagaimana terminology kelima istilah tersebut dalam normative Islam? Apa peran masing? Inilah kemudian penulis buku dari menguraikan dengan konsepsi tematik (maudhu’) pelacakan terhadap al-Qur’an.

Pontensi spiritual akal. Kata al-‘aql diulang sebanyak 49 kali dalam bentuk perintah penggunaan ‘aql yakni kalimat ‘aqalahu, kata ta’qilun sebanyak 24 kali, na’qilu sebanyak satu akli, kata ‘ya’qiluha sebanyak satu kali, kata ya’qilun sebanyak 22 kali. Kesimpulan penulis terhadap potensi ‘aql ini menempatkan pada aktivitas berpikir, menggali, menemukan, memiliki, dan mengembangkan pengetahuan serta mentransfernya.

Tentu pemahaman demikian, dari aktivitas yang dilakukan oleh al-‘aql dapat disandingkan dengan istilah-istilah yang sering ditemukan, yakni kecerdasan, intelektual, pikiran, dan lain sebagainya yang menyebutkan untuk aktivitas akal manusia. Selanjutnya, peran akal dapat dirakomendasikan QS. 17: 70, QS. 16:78, QS. 8:29, QS. 2: 269.

Potensi spiritual nafsu (al-nafs). Kata al-nafs dalam al-Qur’an ditemukan sebanyak 298 kali dengan berbagai bentuk kata. Dengan rincian kata nafs sebanyak 140 kali, kata anfus sebanyak 153 kali, kata nufus sebanyak dua kali, dan kata tanafas, yatanafas, mutanafisun masing-masing sekali saja. Peran nafsu ini memiliki potensi pariatif dengan munculnya temrinologi yang mengikuti kata nafs (nafs ammarah, nafs muthama’innah dan nafs al-lawwamah).

Dengan mengetahui terhadap potensi nafsu yang cenderung pada banyaknya varian, inilah kemudian memiliki tanggung jawab semua pihak khususnya guru garis terdepan dalam mendidik dan mengembangkan nafs anak-anak untuk kearah yang lebih baik. Karena, potensi terjerumus (negatif) sangat dekat dengan aktivitas ke aku an yang dilakukan seseorang, sebagai mana penjelasan Sigmund Freud dengan menjelaskan posisi id, ego, dan super ego.

Potensi spiritual Kalbu (al-Qalb). Qalb dipahami sebagai sentral spritualitas seseorang tanpa meniadakan peran strategis potensi yang sebelumnya. Isitlah lain yang mengitari pembahasan al-qalb ditemukan kata fuad. Jika qalb diartikuliasikan hati secara umum, maka fuad menjadi bagian dari qalb dengan pengertian hati kecil. Secara terma kata al-qalb dalam al-Qur’an ditemukan dalam bentuk tunggal (mufrad) sebanyak 19 kali, bentuk jamak sebanyak 112 kali. Peran qalb ini dapat dibaca dalam QS. 13:28, QS. 66:4, QS. 3:151, QS. 33:26, QS. 3:156, QS. 8: 2, QS. 3: 126, QS. 13:26, QS. 3: 103, QS. 22:32, QS, 8: 11, QS. 9:15, dan QS. 3: 167.

Potensi spiritual Ruh (al-Ruh). Pembahasan ruh merupakan vital terhadap pembahasan kehidupan masyakarat. Ruh menjadi awal kehidupan untuk dapat hidup, dan anatomi tubuh dapat bergerak. Dengan pengertian sederhana, ruh yang menempel di badan manusia jika sudah keluar, maka otomatis manusia sudah mati. Begitulah pemaham secara umum tentang ruh ini, sebagai amanah yang diberikan Allah kepada manusia.

Maka, ruh ini dalam perspektif teologisnya adalah suci yang tidak ingkar terhadap sang Pencipta. Pembahasan menarik lainnya adalah kata ruh dalam al-Qur’an ditemukan 21 kali. Hanya saja, posisi peran pengembangan ruh ini oleh Budiman menjelaskan pada persoalan kata “ruhaniah” dalam al-Qur’an. Inilah pintu masuk untuk dapat dianalisis pengembangan potensi manusia. Selebihnya sudah dikatakan Allah tentang ruh ini urusan sang Pencipta (QS. 17:85).

Potensi spritual fitrah (al-Fitrah). QS. Al-Rum ayat 30 jelas diperdapati kata fitrah. Para intelektual Islam memaknai sebagai potensi bawaan setiap manusia, yakni pengakuan terhadap keberadaan Allah. Yang kemudian diinterpretasikan dengan potensi kebaikan-kebaikan, hanya saja fitrah ini fleksibel dalam pengertian peran milliu sangat erat kaitannya terkhusus pada kedua orangtua.

Akumulasi potensi spiritual berdasarkan pelacakan al-Qur’an ini, dikonfirmasi dengan pendidik. Dalam tradisi intelektual Islam, pendidik dikenal dengan berbagai macam penyebutan. Setiap penyebutan dipahami dengan varian dan kecenderungan kekhasan (mu’allim, ustazd, mudarris, murabbi, muaddib, dan mursyid). Akan tetapi, menghindari bias bahasa harus disepakati bahwa apapun istilah kefokusannya akan membawa pada pengembangan potensi peserta didik yang dibarengi dengan tanggung jawab berbasiskan ilahiyah.

Kedua, Kompetensi Kepribadian. Secara umum dapat dipahami bahwa kompetensi kepribadian merupakan serangkaian keahlian atau kemampuan yang melekata dalam diri seseorang. Baik keahlian atau kemampuan bersifat hard skill maupun soft skill. Berbicara kompentensi kepribadian pada persoalan pendidik tentu sudah tercantum secara tegas dalam PP nomor 19 tahun 2005 tentang SNP atas penjelasan UU nomor 20 tahun 2003 tentang SNP, “Kompetensi kepribadian guru adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadil teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia”.

Posisi strategis dari kepribadian ini tentu membawa pada tujuan ilahiyah, Karena apapun syarat dan muatan yang terkonfirmasi dalam pembahasan kompetensi kepribadian goal akhir yang diingin dicapai adalah kebahagian dunia dan kebahagian di akhirat. Kedua ini terintegrasi satu sama lain. Ketika menjalankan aktivitas hasil dari kompetensi yang dimiliki jika bersandar pada prinsip ilahiyah maka paket akhirat sudah tentu diperoleh, seperti dua sisi mata uang. Lebih lanjut Budiman, mengklasifikasikan terhadap persolan kompetensi kepribadian bersifat makro yang lebih general dan bersifat mikro yang lebih pada skala internal pendidikan dan pengajaran

Relevansi: Spritualitas Guru dan Tantangan Masa Depan
Keresahan banyak fakta dan data negative yang dialamatkan pada pendidik (guru) tidak berhenti pada helus dada saja. Melainkan bersegera mengevaluasi apa yang sedang terjadi dengan berbagai macam ragama kacamata keilmuan. Harus diakui persoalan pendidikan merupakan hajat banyak orang. Maka, jangan heran ketika satu kasus saja yang terjadi tentang perilaku guru tentang negatif. Satu kampung akan tersebar, bahkan sejagad raya cepat menyebar dikarenakan sekarnag perkembangan media online.
Menjadi guru (pendidik) tentu bukanlah “gampang” dengan modal pengetahuan saja, juga tidak sulit. Akan tetapi, mengetahui peran serta tanggung jawab terhadap pendidikan secara luas menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Contoh bagi peserta didik dan sekaligus menjadi tokoh di lingkungan masing-masing.

Uswatun hasanah kajian yang tidak menjadi luput terhadap seorang pendidik, yang notabenenya sangat vital terhadap kelangsungan masa depan. Terlebih ini era perkembangan tehnologi informasi begitu cepat, jika seorang guru (pendidik) tidak peka dan mengudate pengetahuannya maka akan terkuras ketokohan guru. Hingga sosok “google” menjadi tokoh sentral dalam menyajikan informasi pengetahuan. Ini tentu tidak munutup kemungkinan, narasi tentang guru pun semakin tidak ada arti bagi generasi mendatang.

Cukup peserta didik memastikan jaringan internet maka apapun mereka dapat jelajahi. Akan tetapi, bagaimana dengan pengembangan potensi yang dimiliki ? akal, nafsu, kalbu, ruh dan fitrah siapa yang menyentuhnya?.

Tentu dengan skema pendidik perspektif Islam penuh kemuliaan dan balasan pahala jariah, dapat dijadikan spirit untuk bangunan masa depan generasi. Oleh karenanya, sebelum memastikan untuk terjun menjadi guru atau pendidik yang formal sebagai generasi Islam, harus sudah memastikan beberapa item potensi yang dimiliki manusia juga sudah dimiliki oleh calon guru tersebut.

Karekateristik guru berbasiskan religiusitas atau bahasa Budiman, “spritualitas guru” terpatri dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, pengembangan potensi akal. Kedua, pengembangan dan pengendalian fitrah. Ketiga, pengendalian fitrah. Keempat, pengendalian nafs. Kelima, pengendalian ruh.