Mengenal Tradisi Nyangku

Grahanusantara.co.id, Ciamis – Masing-masing daerah memiliki ragam bahasa, kesenian, tradisi, pola hidup, falsafah hidup dan lain sebagainya yang khas milik masyarakat sendiri. Masyarakat bersifat dinamis, selalu bergerak kearah perubahan. Perubahan tersebut dapat berdampak besar yang melibatkan aspek-aspek sosial yang vital dalam masyarakat ataupun hanya berpengaruh kecil dan tidak mengubah tatanan dasar masyarakat.

Seperti halnya Nyangku, salah satu budaya yang masih dilaksanakan secara turun-temurun hingga saat ini. Upacara nyangku merupakan sebuah tradisi ritual yang berkembang dipanjalu tidak terlapas dari sejarah panjalu, yang sudah di yakini sejak masa prasejarah, hindu, islam, bahkan hingga kini. Nyangku sendiri berasal dari bahasa arab yang artinya membersihkan, dan dalam tradisi nyangku bukan hanya benda-benda pusaka peninggalan leluhur Prabu Sanghyang Borosngora dan para Raja, serta Bupati Panjalu penerusnya yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit.

Benda-benda pustaka tersebut diantaranya: Pedang Zulfikar, Cis, Keris Komando, Keris Pancaworo, Bangreng, Goong Kecil, Kujang, Trisula, dan lain-lain. diyakini sebagai penyebar agama islam pertama di panjalu, tetapi lebih bertujuan untuk membersihkan diri dari segala sesuatu yang bersifat haram sesuai ajaran agama islam dan untuk mengumpulkan masyarakat panjalu agar mudah dalam menyampaikan dakwah.

Upacara adat Nyangku menurut masyarakat di wilayah tersebut di artikan sebagai Nyangan Laku (menerangi perilaku), mengandung makna bahwa manusia harus dapat menjadi penerang hidup dan mampu menerangi hidup keluarga dan orang lain; sedangkan kegiatan menyucikan benda-benda pusaka peninggalan kerajaan Panjalu dilakukan untuk menghormati para leluhur, dan mengandung makna bahwa manusia harus selalu mensucikan niat, selalu membersihkan diri lahir dan bathin, dan selalu terbuka dengan perubahan yang ada.

Pola pandang masyarakat di wilayah ini menyikapi hakekat hidup, karya, waktu dan lingkungan sosial, sangat erat kaitannya dengan tingkat pendidikan yang dimiliki. Secara umum, tingkat pendidikan masyarakat di Situ Panjalu masih tergolong rendah dan hanya sampai jenjang sekolah dasar. Hal tersebut mempengaruhi pola pandang dan perilaku mereka pada kehidupan sehariharinya. Pandangan masyarakat tentang hidup, dilandasi oleh keadaan hidup yang penuh keterbatasan dan seadanya.

Hal itu, membuat sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa keterbatasan yang dimilikinya merupakan sesuatu yang tetap harus disyukuri dan perlu ditingkatkan menuju lebih baik lagi. Sebagian besar penduduk Situ Panjalu menganggap bahwa hidup pada hakekatnya adalah buruk, dan sesuatu yang buruk itu harus ditingkatkan menjadi lebih baik.

Kesederhanaan pola pikir mengenai hidup, dan jenjang pendidikan yang rendah sejalan dengan pernghargaan terhadap suatu karya. Sebagian besar masyarakat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, berkarya untuk tercapainya tujuan hidup. Pandangan masyarakat dalam proses pemanfaatan waktu, sangat menggambarkan pola hidup yang pasif, dan berorientasi pada masa kini. Pemanfaatan waktu belum dilakukan secara maksimal oleh masyarakat untuk mengangkat derajat hidup.

Upacara Nyangku adalah rangkaian prosesi adat penyucian benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora, para raja, dan bupati Panjalu juga penerusnya yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Benda-benda pusaka yang dimandikan, antara lain, pedang zulfikar, keris pancaworo, bangreng, goong kecil, cis, keris komando, dan trisula.

Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan benda pusaka sebagai penghormatan terhadap leluhur Panjalu yang telah menyebarkan agama Islam. Istilah Nyangku berasal dari kata yanko yang dalam bahasa Arab artinya membersihkan. Namun, pelafalannya berubah menjadi nyangku. Nyangku dalam bahasa Sunda dapat berupa akronim dari nyaangan laku atau menerangi perilaku. Upacara adat ini diadakan masyarakat Panjalu pada hari senin atau kamis terakhir bulan Maulud atau Rabiul Awal.

Selain untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, tradisi ini dilaksanakan juga untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora dan Raja Panjalu yang sudah memeluk agama Islam dan menyebarkan ajarannya di Panjalu. Bagi masyarakat yang melestarikannya, tradisi ini juga sebagai waktu untuk berintrospeksi diri dari perbuatan yang tidak sesuai dengan norma agama dan norma adat.

Adapun pelaksanaan ritual nyangku ini dilaksanakan satu tahun sekali yaitu setiap minggu terahir bulan Rabiul awal (maulid) , hari pelaksanaan Senin atau kamis. Prosesi Upacara Adat Nyangku dimulai dari pengambilan air keramat (tirta kahuripan) dari paling sedikit tujuh mata air untuk membersihkan benda-benda pustaka. Mata air tersebut dipercaya sebagai petilasan Prabu Sanghyang Borosngora yang letaknya tersebar baik didalam desa panjalu maupun diluar desa. Mata air tersebut ilah mata air situ lengkong, Karantenan, Kapunduhan, Cipanjalu, Kubang Kelong, Pasangrahan dan Kulanh Bongbang Rarang Dan Bongbang Kancana.

Air yang telah diambil tersebut kemudian disimpan didalam tempat khusus dan di tawasuli (diberi doa) oleh para santri selama 40 hari sampai hari pelaksana Upacara Adat Nyangku. Kemudian dilaksanakan prosesi penyerahan tirta kahuripan dari sesepuh adat pengambil air kepada ketua Yayasan Borosngora sebagai penanggung jawab pelaksanaan Upacara Adat Nyangku.

Penulis: Ucu Nuraidah