Sejarah Kedatangan, Perdagangan Cina di Indonesia dan Kisah Tragis di Balik Perayaan Perahu Naga

Grahanusantara.co.id, Tangerang – Sejarah perayaan Peh Cun tentunya tidak terlepas dari etnis Tionghoa khususnya Cina peranakan di Kota Tangerang, yang biasa dikenal dengan Cina Benteng. Kedatangan mereka dari dataran Cina di Kepulauan Nusantara terekam dalam catatan Budha Tiongkok, Fe Hien.

Saat itu, ia mengunjungi pulau jawa dalam perjalanannya menuju India yang berlangsung pada tahun 399 sampai 414 M. Perjalanan itu ia lakukan guna mencari buku-buku agama Budha. Perjalanan bangsa Tionghoa pada awalnya hanya terbatas pada perjalanan keagamaan, setelah abad ke-8 perjalanan dagang pun mulai dilakukan.

Setelah proses inilah mulai banyak perjalanan menuju Nusantara khususnya pulau Jawa, pada masa kedatangnya kala itu Nusantara sedang dalam masa kerajaan Hindu-Budha yang kondisinya sudah memiliki jaringan-jaringan dalam perdagangan internasional, Tangerang yang posisinya sebagai Pelabuhan umumnya bermatapencaharian sebagai pedagang, hingga tibalah Laksamana Cheng Ho dengan armada besarnya di Nusantara guna melakukan perdagangan Rempah dan Keramik, pada tahun 1570 Cheng Ho melakukan muhibah ke Pantai Utara Jawa tepatnya di daerah Teluk Naga Tangerang.

Sejak kedatangannya itulah mulai banyak masyarakat Tionghoa berdatangan yang dipercaya sebagai asal muasal kedatangan Cina Benteng di Kota Tangerang. Secara Etimologi Peh Cun berasal dari Bahasa Hokkian yang dipendekan dari Pe Leng Cun / Pe Liong Cun bermakna mendayung Perahu Naga.

Kisah Perayaan Perahu Naga

Peh Cun singkatnya, memiliki tujuan guna mengenang seorang Menteri dari Negeri Cho, yang bernama Qu Yuan beliau adalah seorang pejabat yang sangat setia pada negerinya, juga sangat banyak memberi gagasan-gagasan untuk kemajuan negerinya yang kala itu sedang banyak menghadapi peperangan. Pada tahun 403-221 SM sudah tidak berarti lagi sebagai negeri pusat. Pada jaman itu terdapat tujuh negeri besar yaitu Negeri Cee, Cho, Yan, Han, Thio, Gwi, dan Chien.

Negeri Chien adalah negeri yang paling kuat diantara lainnya, hal ini membuat enam negeri lainnya bersatu guna menghadapi negeri Chien, bersatunya negeri-negeri tersebut tidak terlepas dari peran besar Qu Yuan dan sangat disegani oleh Negeri Chien.

Karena peran besarnya itu Qu Yuan sangat dipercaya oleh Raja Cho Way Ong dari negeri asalnya yaitu Negeri Cho, hal ini memiliki dampak negatif pada banyaknya menteri-menteri lain seperti Kongcu lan, SiangKwan, Tay Hu, dan Khien Siang dengan bantuan selir kesayangan raja bernama Te Siu yang tidak suka terhadapnya dan berupaya menjatuhkan nama baiknya, dengan berbagai upaya yang sudah dilakukan akhirnya hubungan Raja Cho Way Ong dengan Qu Yuan pun retak dan diakhiri dengan pemecatannya. Akibat daripada itu persatuan keenam negeri yang pada awalnya di satukan dengan peran besar seorang Qu Yuan ikut berantakan.

Dengan perasaan sukarela dan ketentramannya saat itu beliaupun bertemu dengan seorang nelayan yang menyembunyikan identitasnya hanya menyebut dirinya dengan nama Gi Hu yang memiliki pandangan untuk meninggalkan dunia dan kembali kedalam jalan yang suci.

Ketentraman Qu Yuan yang akan menghadapi kematiannya terganggu dengan dihancurkannya ibukota Negeri Cho, hal ini semakin membuat hidup Qu Yuan tidak berarti lagi sehingga memutuskan hari Twan Yang yang menjadi asal muasal Sembahyang Twan Yang, sebuah hari suci dalam bersujud, untuk mengakhiri hidupnya di Sungai Bek Lo, Qu Yuan menerjunkan diri ke dalam sungai yang sedang mengalir deras dengan mengikatkan dirinya pada sebuah batu, dan langsung hilang tenggelam. Gi Hu dan nelayan lainnya yang melihat itupun segera membawa perahu-perahu kecil untuk mencari Qu Yuan, tetapi hasilnya sia-sia dengan kata lain tidak membuahkan hasil sama sekali.

Pada tahun kedua Twan Yang, masyarakat setempat merayakan kembali Twan Yang, dan Gi Hu pun berinisiatif membawa tempurung bambu berisi beras dan daging yang sekarang dikenal dengan nama Bakchang dengan tujuan memberi makan ikan-ikan besar disana agar tidak memakan Qu Yuan yang diharapkan oleh masyarakat  masih hidup kala itu. Di tahun-tahun berikutnya mulai diadakannya perlombaan perahu yang dihisai dengan naga yang melambangkan keberanian, untuk mengenang usaha pencarian Qu Yuan sang pecinta negeri, dan yang juga sangat sayang akan rakyatnya.

Baca juga https://www.grahanusantara.co.id/4316/2020/07/21/lebih-dekat-dengan-cina-benteng-sejarah-sampai-serba-serbinya/