ISPI Minta Pemerintah Kaji Ulang Program BLT Karyawan Swasta

JAKARTA,- Direktur Utama Indonesian Of Social Political Institute (ISPI) Deni Iskandar mengatakan, rencana pemerintah akan menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Karyawan Swasta Non Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pengawas Non Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp. 600 ribu, yang akan diberikan selama 4 bulan, untuk 13,8 orang pekerja dengan alokasi anggaran yang disiapkan sebesar Rp. 31,4 Triliun, dinilai tidak tepat.

Ia menjelaskan, Program BLT Karyawan Non PNS dan Non BUMN yang saat ini, masih tengah dikaji oleh Tim Pengendalian Covid-19 dan Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) itu, secara prinsip telah mengesampingkan dan mengabaikan semua karyawan yang di PHK dan di rumahkan oleh perusahaan, akibat adanya Pandemik Covid-19.

“Program BLT Karyawan ini sangat berpotensi akan tidak tepat sasaran, sekalipun skema pemberiannya diberikan langsung lewat rekening. Sebab saat ini, antara karyawan dengan karyawan yang di PHK jumlahnya berimbang. Seharusnya, yang dipikirkan oleh pemerintah itu bukan orang yang masih bertahan kerja, tapi orang yang di PHK dan di rumahkan. Secara prinsip, jika program BLT Karyawan ini tetap dilakukan, bisa disebut, pemerintah telah mengabaikan pegawai yang di PHK akibat Covid-19,” kata Deni, Selasa (11/08) dalam Press Rilisnya.

Mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat itu juga meminta agar semua stack holder terkait seperti, Tim Percepatan Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Kemenaker, Kemenkeu dan Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), segera mengkaji ulang rencana program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Karyawan Non PNS dan Non BUMN itu.

“Saat ini pemerintah dari mulai Kementerian Ketenagakerjaan BPS dan Kementerian Bappenas, tidak punya akurasi data yang tepat soal jumlah angkatan kerja, angka pengangguran, dan angka karyawan yang di PHK dimasa Pandemik Covid-19 ini. Artinya, program yang akan dibuat oleh pemerintah itu, akan sia-sia bila pendataannya kacau. Seharusnya yang pertama kali diselesaikan itu soal akurasi data dulu. Ini penting, agar semua program yang dibuat itu bisa tepat sasaran. Berdasarkan Investigasi ISPI, saat ini justru PHK itu banyak dialami oleh pegawai yang tidak punya BPJS maupun Jamsostek, ini harus dipikirkan oleh pemerintah.” Jelas Deni.

Berdasarkan data analis yang dihimpun Tim Indonesian Of Social Political Institute (ISPI) dari beberapa sumber, Pemerintah dimasa Kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin, tidak mempunyai akurasi data terkait jumlah angka pengangguran dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal pada saat adanya Pandemik Covid-19.

Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Februari 2020 sebelum adanya Pandemik Covid-19, angka pengangguran di Indonesia mencapai sebanyak 6,88 Juta orang. Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan pada bulan April 2020, ada sebanyak 1.506.713 orang pekerja yang terdampak Covid-19, dan sebanyak 6,4 Juta orang pekerja di PHK dan dirumahkan. Sementara itu, Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi, ada lonjakan angka pengangguran akibat Pandemik Covid-19 ini.

Kementerian Bappenas sendiri mencatat, ada sebanyak 4,2 Juta orang pengangguran dan sebanyak 3,2 juta orang pekerja di PHK dan dirumahkan perusahaan akibat Pandemik Covid-19 dan pada tahun 2021 memperkirakan, akan ada lonjakan angka pengangguran sebanyak 12,7 juta orang. Asumsi Kementerian Bappenas itu didasarkan pada kalkulasi data Badan Pusat Statistik dan data Kementerian Ketenagakerjaan terkait angka pengangguran dan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) saat ini.

Selain itu, Deni juga menilai, pandangan Ketua Pelaksana Tim Percepatan dan Pengendalian Covid-19 dan PEN, Erick Thohir dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani terkait pemberian BLT Karyawan sebagai upaya percepatan penyerapan anggaran program PEN perlu dikritisi semua elemen, dari mulai akademisi, pakar hingga pengamat ekonomi dan kebijakan publik.

Menurut Deni, penyerapan anggaran dalam PEN yang macet itu, di sebabkan karena lemahnya daya beli masyarakat, dan hal itu terjadi akibat dari banyak pekerja yang di PHK dan dirumahkan oleh perusahaan akibat Pandemik Covid-19. Oleh karenanya, untuk dapat mengembalikan situasi tersebut, Deni menambahkan, seharusnya pemerintah, memberikan bantuan itu kepada pekerja yang di PHK dan di rumahkan.

“Seharunya, disaat serapan anggaran PEN ini macet, pemerintah bisa mengkajinya lebih dalam, dan apa yang menjadi penyebab utamanya, begitu seharunya logika yang dibangun pemerintah. Sebab berdasarkan analisa dan kajian Tim ISPI, serapan anggaran PEN macet, disebabkan karena daya beli masyarakat rendah. Itu terjadi karena, perusahaan banyak melakukan PHK kepada pekerja.” Tambah Deni.

“Secara otomatis, ketika ada PHK besar-besaran, tingkat kemiskinan meningkat, dan itu imbasnya ke daya beli masyarakat. Seharusnya yang dibantu pemerintah, bukan orang yang masih berkeja, tapi pekerja yang kena PHK, dan justru jika bantuan itu diberikan kepada pekerja yang kena PHK, maka daya beli masyarakat akan kembali stabil.” Tambah Deni.

Ia menampik pernyataan Erick Thohir dan Sri Mulyani yang menyebutkan, ditengah Pandemik Covid-19, pemerintah sudah banyak memberikan program jaring pengamanan sosial melalui program PKH, BPNT, Bansos, dan Program Kartu Prakerja.

Menurut Deni, program-program Jaring Pengaman Sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sudah dilakukan pemerintah sebelum adanya Pandemik Covid-19. Sementara Bantuan Sosial (Bansos) secara pendapatan masih bermasalah dan tidak tepat sasaran. Begitu juga, sambung Deni, dengan Program Kartu Prakerja, tidak signifikan dan tepat sasaran membantu masyarakat dalam menekan angka pengangguran.

“Semua Program Jaring Pengaman Sosial yang dikatakan Erick Thohir dan Sri Mulyani, seperti PKH, BPNT itu sudah dilakukan sebelum adanya Pandemik Covid-19, dan sasaran targetnya bukan untuk para pekerja yang di PHK. Begitu juga dengan Program Kartu Prakerja, itu tidak signifikan membantu masyarakat dalam menekan angka pengangguran dan pekerja yang di PHK, dan saat ini, program Kartu Prakerja masih dalam sorotan KPK. Begitu juga dengan program BLT Karyawan ini, sangat jelas bukan untuk pekerja yang kena PHK. Pemerintah justru tutup mata dengan pekerja yang di PHK dan di rumahkan,” sambung Deni.

Ketua Pelaksana Tim Percepatan Pengendalian Covid-19 dan PEN, Erick Thohir mengatakan sebelumnya, ada dua hal yang akan menjadi fokus, dalam pemberian BLT Karyawan Swasta Non PNS dan Non BUMN itu. Pertama, untuk memberikan stimulus ekonomi. Kedua, untuk percepatan penyerapan tenaga kerja melalui proyek padat karya. Adapun pemberian BLT Karyawan sebesar Rp. 600 ribu per/bulan selama 4 bulan itu, akan langsung diberikan per/dua bulan ke rekening masing-masing pekerja.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani di tempat terpisah mengatakan, rencana pemerintah yang akan dilakukan untum mempercepat penyerapan anggaran PEN, dengan cara memberikan santunan bagi para pegawai yang bekerja disektor swasta dengan gaji dibawah 5 juta per/bulan. Saat ini, Sri Mulyani menambahkan, rencana tersebut masih dikaji pemerintah.