Perahu Naga dan Festival Cisadane Kota Tangerang

Grahanusantara.co.id – Sejarah Peh Cun di Kota Tangerang, dimulai dari lewatnya seorang tuan tanah yang kaya raya bernama Oey Giok Koen pada tahun 1900. Beliau kala itu melintasi depan Klenteng Boen San Bio menggunakan kereta kuda bersama dengan isteri yang sedang mengandung juga didampingi beberapa pengawal setianya.

Ketika lewatnya kereta kuda milik Oey Giok Koen tepat didepan Boen San Bio roda dari kereta kuda beliau patah dan mengkhawatiran akan keselamatan dari isteri juga kandungannya hingga dia berikhrar jikalau anak saya lahir dengan selamat dan berjenis kelamin laki-laki Oey Giok Koen akan menghadiahi Klenteng Boen San Bio sepasang Perahu Naga. Seiring berjalannya waktu anaknya lahir dengan selamat dan berjenis kelamin laki-laki, beliaupun memenuhi janjinya dengan memberikan sepasang Perahu Naga, yaitu Naga kuning dan Naga merah untuk Klenteng Boen San Bio.

Perahu Naga inilah yang mengawali peringatan pada mendiang Qu Yuan atau diperingati dengan Peh Cun, di bawa dan diturunkannya Perahu pemberian Oey Giok Koen di Sungai Cisadane, Kota Tangerang.Perayaan Peh Cun pada awalnya selalu diadakan pada tanggal lima, bulan lima, penanggalan Imlek, guna memperingati keikhlasan Qu Yuan yang menjatuhkan diri ke sungai di tanggal itu.

Seperti paparan sebelumnya, sepasang perahu hasil pemberian Oey Giok Koen yang mengawali keinginan Etnis Cina Benteng untuk merayakan Peh Cun di Kota Tangerang, diiringi antusiasme masyarakat Cina Benteng sangat ramai dan saling berlomba mendayung yang memiliki arti spiritual pencarian Qu Yuan. Hingga pada tahun 1963 sepasang perahu tersebutpun rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi pada akhirnya dibakar, akan tetapi masih disisakan kepala dan ekor naga dari perahu yang berumur ratusan tahun tersebut.

Pada tahun 1902, Hartawan seorang dermawan membuatkan perahu baru dan memberikannya kepada Klenteng Boen Tek Bio, pada tahun 1910 Peh Cun pun dirayakan jadilah ada perahu lain yang turut serta meramaikan perayaan Peh Cun selain perahu naga merah dan kuning, tidak berselang lama satu tahun kemudian pada saat perayaan perahu pemberian Hartawan yang dikenal dengan perahu papak merah dan hijau bertabrakan dengan perahu bambu yang lewat melintang yang berakibat pada patahnya perahu papak hijau.

Perahu Papak hijau yang patahpun di keramatkan dan disimpan di daerah karawaci, di tahun-tahun berikutnya perahupun terus di perbaharui. Di tahun 1964 Perayaan Peh Cun ini sempat terhenti Karena adanya pelarangan dari Pemerintah Orde Baru kala itu. Seiringan dengan berjalannya waktu, Festival Cisadane muncul pertama kali diangkat atas inisiasi Walikota pertama kalaitu, Zakaria Mahmud menganggap bahwa Kota yang baru terbentuk ini tidak memiliki sebuah icon, sedangkan pada dasarnya ada budaya yang banyak menarik antusiasme masyarakat di Kota Tangerang, salah satunya adalah perayaan Peh Cun yang sempat dilarang oleh Pemerintah Orde Baru, atas dasar inilah untuk mengisi kekosongan yang ada ditariklah Peh Cun sebagai pesta rakyat bersama di Kota Tangerang.

Hingga pada tahun 2000 Pemerintah Daerah Kota Tangerang mengangkat kembali Perayaan Peh Cun, dan di akulturasikan dengan kebudayaan sekitar hingga perayaan tersebut dikenal dengan Festival Cisadane, sesuai dengan nama sungai tempat diadakannya perayaan Festival Peh Cun terus berlangsung dan berkembang setiap tahunnya.

Baca juga https://www.grahanusantara.co.id/4322/2020/07/21/sejarah-kedatangan-perdagangan-cina-di-indonesia-dan-kisah-tragis-di-balik-perayaan-perahu-naga/