Pluralisme-Multikulturalisme Sebagai Jalan Persatuan

Menurut Prof. M. Ridwan Lubis dalam bukunya Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama dalam Interaksi Sosial, menyatakan bahwa gejala agama bukanlah gejala ilmu kealaman, seperti air yang selalu mengalir dari atas ke bawah atau seperti gejala elektron yang selalu bergerak mengalir mencari proton.  Agama biasanya didefinisikan sebagai kepercayaan akan adanya sesuatu yang Maha Kuasa dan hubungan dengan yang Maha Kuasa itu. Karena agama adalah kepercayaan, maka agama adalah gejala budaya. Sedangkan interaksi antara sesama pemeluk agama dengan agama lain adalah gejala sosial. Jadi, agama dapat dilihat sebagai gejala budaya dan sebagai gejala-gejala sosial.

Oleh karena itu, kesadaran bahwa agama selalu berada dalam persepsi terhadap apa yang dipahami sebagai ultimate realty tergantung kepada konstruksi keberagamaan. Dengan demikian interaksi sosial keagamaan, perbedaan cara mengekspresikan keberagamaan antara individu atau antar kelompok keagamaan bukan sesuatu yang salah, tetapi kebenaran-kebenaran dengan rasionalitas yang berbeda-beda. Kesalahan yang seling terjadi dalam mengekspresikan keberagamaan adalah memposisikan agama sebagai bangunan yang tidak boleh berubah dan menggunakan konsep kebenaran tunggal (single truth) dalam mengkaji agama, seperti yang biasa terjadi bila memakai pendekatan teologis.

Menganggap bahwa agama masing-masing yang paling benar telah menjadi sebuah permasalahan yang cukup rumit. Karena hegemoni makna keagamaan masih saja dilakukan, baik di kampus, sekolah, maupun acara seminar atau pengajian khususnya di Indonesia. Apalagi pada dasarnya manusia cenderung melihat dirinya lebih baik dan harus lebih dihargai ketimbang orang lain, padahal heterogenitas merupakan syarat masyarakat demokrasi modern, sebab hal tersebutlah yang menjadi tolak ukur atas lahirnya perkembangan tentang pluralis-multikulturalis.

Pluralisme agama juga semakin mendapatkan momentum, tidak hanya sebagai filosofil intelektual, tapi secara realitas sosial, budaya juga dirasakan manfaatnya. Selain secara agama, umat manusia juga majemuk secara tradisi dan budaya. Dalam hal kemajemukan budaya, sikap pluralis bersanding dengan sikap multikulturalis. Plural dalam hal ini juga dimaknai sebagai kemajemukan agama, sementara multikultural mengandung arti kemajemukan budaya, meskipun definisi agama dan budaya berbeda-beda.

Indonesia adalah suatu negara multikultural yang memiliki keragaman budaya, ras, agama, dan golongan yang kesemuannya merupakan kekayaan tak ternilai yang dimiliki bangsa Indonesia. Selo Soemardja mengemukakan pada waktu disiapkannya Republik Indonesia yang didasarkan atas Pancasila tampaknya, para pemimpin kala itu menyadari realitas bahwa di tanah air kita ada aneka ragam kebudayaan yang masing-masing terwadahkan di dalam suatu suku.

Tulisan-tulisan dari ahli itulah yang membuat penulis membuka mata akan sebuah fakta sosial yang berkembang disekitar masyarakat, sebuah tindakan yang saling menghujat, berdebat, dan memaki satu  sama lain yang terjadi disegelintir umat beragama terhadap perbedaan cara pandang ucapan selamat hari raya yang dikatakan umat yang saling berbeda agama. Sebagai contoh sosial yang sering kali ramai “jika seorang Muslim mengucapkan selamat Natal, pasti akan banyak orang yang menyalahkan, disisi lain adapula yang mengatakan tidak ada masalah dalam mengucapkan selamat Natal,” hingga seringkali menimbulkan pertingkaian, cacian, hingga hujatan. Setidaknya, itu yang sering kali penulis lihat di Media Sosial.

Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, Indonesia adalah negara dengan banyak perbedaan baik etnis, agama, bahasa, dan masih banyak lagi. Melihat fenomena seperti yang digambarkan, maka besar harapan penulis bahwa setiap masyarakat dapat menghargai pendapat satu sama lain walaupun itu bertentangan, jika kita terus mementingkan ke-egoisan masing-masing maka jalinan persaudaraan aku semakin terkikis oleh rasa benci, tentunya para  pemimpin kita terdahulu tidak akan bisa membangun NKRI yang berlandaskan persatuan Indonesia.

Komentar