Permasalahan Nikah Beda Agama, Prof. Tolabi: Omnibus Law

Graha Nusantara, Jakarta – Koeksistensi hukum nasional atau perbaikan secara keseluruhan sengkarut praktik hukum di Indonesia yang perlu perbaikannya segera untuk dilakukan melalui cara yang komperhensif, sistemik, dan holistik disampaikan oleh Guru Besar Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Prof Tholabi Kharlie.

“Keberadaan norma hukum keluarga dengan hukum administrasi menjadi contoh yang paling demonstratif dalam mendeskripsikan kondisi benturan antar-norma seperti yang dimaksud sebelumnya. Hukum Keluarga yang direpresentasikan melalui keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan hukum administrasi yang direpresentasikan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,” ujar Prof Tholabi yang dikutip dari Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar dirinya, Kamis (15/9/2022).

Pernyataan ini disampaikan oleh Profesor Ahmad Tholabi Kharlie yang baru saja dikukuhkan menjadi Guru Besar bidang Ilmu Hukum Islam di kampus UIN Jakarta pada Rabu, 14 September 2022. Sejumlah pihak seperti Wakil Presiden Prof. K.H. Maruf Amin, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Ketua MPR Bambang Soesatyo, Ketua KY, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) serta berbagai pihak lainnya mengisi testimoni pengukuhan ini.

“Hukum Keluarga, khususnya melalui Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat dibaca sebagai praktik koeksistensi antara hukum agama (Islam) dan hukum negara di sisi yang lain,” terang Tholabi yang juga pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) itu.

Pada permasalahan ini, Mahkamah Konstitusi (MK) menerangkan jika Agama memiki kedudukan sebagai landasan dan memiliki kepentingannya juga pada saat yang sama. Lebih konkret, MK menyebutkan:

Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara.

Disisi lain, pernikahan dengan tidak memperhatikan hukum agama masing-masing secara tersirat terlihat pada Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Putusan Mahkamah Agung (MA) 1400 K/ Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989 memberikan pertimbangan tentang pernikahan beda agama bisa dicatatkan di lembaga Pencatatan Sipil karena dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat kekosongan hukum, terkhusus dalam pernikahan beda agama. Tetapi, MA juga berpendapat, bahwa kekosongan hukum ini tidak dapat dijadikan alasan untuk mengindahkan fakta hukum yang ada di masyarakat yaitu perkawinan beda agama.

Di sisi yang lain, norma dalam Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juga memiliki makna yang berbeda dengan spirit Undang-Undang Perkawinan termasuk putusan MK. Kondisi ini tidak terlepas dari Undang-Undang Administrasi Kependudukan yakni, pengadministrasian terhadap peristiwa kependudukan yang di antaranya perkawinan. Undang-Undang ini juga dilandasi semangat pemenuhan hak administrasi warga tanpa praktik diskriminatif.

“Pertentangan sejumlah norma dalam hukum keluarga dan hukum administrasi ini, di sisi yang lain disebabkan ambiguitas hukum perkawinan dan aturan turunannya yang menimbulkan komplikasi masalah, khususnya dalam praktik perkawinan di Indonesia,” terang mantan petinggi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu.

“Akibatnya, tak sedikit lembaga peradilan menetapkan permohonan perkawinan beda agama melalui rezim administrasi yang memang memiliki dasar hukum sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan, peraturan turunan lainnya, termasuk putusan hakim sebelumnya,” sambung Profesor Tholabi.

Solusinya perlu kebijakan holistik menyikapi masalah itu secara sistemik dan komprehensif.

“Fakta inilah yang mestinya dapat dituntaskan oleh negara melalui penataan hukum keluarga yang solid dan holistik sehingga memberi kepastian hukum kepada warga negara,” ucap Tholabi.

Eksistensi hukum agama (Islam) dalam hukum keluarga secara konsekuen dijalankan dengan baik oleh pemeluknya yang berkedudukan menjadi dasar bagi negara dalam pengadministrasian kependudukan di bidang perkawinan untuk memberi kepastian hukum.

“Kebijakan hukum negara yang dituangkan melalui Undang-Undang dan aturan turunan lainnya menjadi titik pijak untuk menyudahi kerumitan yang dipicu oleh benturan antar-norma. Langkah selanjut nya, secara simultan kesamaan pemahaman oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) khususnya penyelenggara administrasi negara,” ujar Tholabi.

Di bagian lain, Tholabi juga menggulirkan gagasan model omnibus law dapat ditempuh untuk merapikan sengkarut peraturan perundang-undangan di bidang hukum keluarga. Menurut dia, Pasal 64 ayat (1b) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Artinya, tak ada lagi hambatan legalitas dalam penyusunan perundang-undangan model omnibus law ini,” terang Tholabi memberikan solusi.

Komentar