Pulung (Restu Kuasa) Dan Realitas Alam Bawah Sadar Rakyat Atas Calon Presiden Indonesia 2024

Oleh: Hasanuddin Hamami (Ketua Umum Jaros 24)

Meski pilpres masih setahun lebih tapi nunsa dan dinamikanya sudah sangat terasa. Seakan sudah masuk masa kampanye politik. Para elit partai telah melakukan aksi saling kunjung mengunjungi ke kantor masing-masing. Bahkan telah ada yang berani melangkah lebih jauh dengan mendeklarasikan koalisi dan menyebutkan calon presiden yang akan diusung di pemilu 2024.

Ragam koalisi dan capres yang dideklarasikan dipengaruhi oleh kalkulasi standar minimal threshold pencalonan presiden. Juga dipicu oleh potensi elektabilitas capres terutama yang selalu menduduki posisi puncak hasil berbagai lembaga surveI. Kedua faktor itu menjadi pijakan langkah manuver politik elit partai.

Manuver lincah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diinisiasi oleh Golkar, PAN dan PPP bergerak cepat medeklarasikan koalisinya. Langkah ini telah memantik pergerakan partai lain agar tak ketinggalan. Maka lahir koalisi kebangkitan Indonesia Raya yang dimotori oleh Gerindra dan PKB. Kemudian tak ingin kalah, partai Demokrat bergerak lincah mencari mitra koalisi. Melakukan serangkaian kunjungan untuk penjajakan koalisi ke markas Nasdem dan Gerindra.

Selain manuver tersebut, tiga bakal capres berelektabiltas tinggi Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan mulai dirangkul dan dipublikasikan untuk menjadi instrumen bergaining position (posisi tawar) dalam rangka membangun koalisi. Nasdem adalah partai yang paling intens ‘menjual’ para bakal capres yang dipasang-pasangkan untuk mengakpitalisasi segala peluang berkoalisi. Diantara narasi yang dibangun Nasdem adalah mempublikasikan pasangan bakal capres-cawapres Ganjar-Anies sebagai pasangan pemersatu bangsa.

Karakteristik Bakal Capres

Prabowo Subanto

Karakteristik Prabowo yang melekat dalam benak publik adalah seorang tokoh yang tegas, nasionalis dan elitis. Latar belakang Prabowo yang berasal dari tentara dan sosok pribadi Prabowo telah membentuk kesan tokoh yang tegas. Narasi politik dan citra partai Gerindra berefek pada citra Prabowo sebagai seorang nasionalis meski pada perhelatan pilpres dua periode 2014 dan 2019 Prabowo sempat memanfaatkan kekuatan politik islam kanan yang menimbulkan asosiasi dirinya sebagai politisi yang memainkan politik identitas. Kesan politik identitas itu masih melekat meski mulai ternetralisir ketika Prabowo bergabung dengan gerbong kekuasaan Joko Widodo yang dipersepsi publik sebagai tokoh berkarakter nasionalis.

Prabowo dikatakan sebagai politisi elit karena dia lahir dan dibesarkan dari latar belakang kekuasaan Orde Baru. Dia dibesarkan oleh ‘rekayasa’ dan sokongan kekuasaan politik Soeharto. Sehingga pada masanya dia disebut-sebut sebagai jendral rising star yang melampaui karir keprajuritan teman-teman seangkatan bahkan melampui karir tentara senior di atasnya. Prabowo tak akan bisa mencapai karir yang moncer jika tidak didukung kekuasaan Soeharto.

Anies Baswedan

Kesan karakteristik Anies Baswedan awalnya dianggap sebagai tokoh cerdas-nasionalis. Namun citra itu runtuh dengan sekejap karena Anies gagal bersabar dan tak tahan oleh godaan syahwat kekuasaan politik. Anies dibius oleh rayuan kalangan Islam kanan untuk menjadi representasi-simbol mewakili syahwat politik Islam kanan pada perhelatan politik pilkada Gubernur DKI 2017. Anies secara sadar bukan saja membiarkan dirinya dimanfaatkan kelompok Islam kanan untuk menjadi kuda tunggangan politik mereka, tapi Anies juga menikmati permainan politik itu karena tergiur gemerlap kekuasaan gubernur DKI sehingga Anies tampil menjadi politisi pragmatis-oportunis.

Anies membangun narasi politik mewakili preferensi politik kalangan Islam kanan. Anies tak ragu lantang berupaya mendowngarde (menurunkan) lawan politik dengan konten bercorak islam kanan. Dan yang lebih menyedihkan Anies membiarkan dan menikmati tumbuhnya aksi politik barbar yang paling memalukan. Tumbuh berkembang aksi-aksi politik para pendudukungnya menampilkan politik identitas dan politisasi agama. Para pendukungnya tanpa belas kasih tega melarang menshalatkan jenazah dari kalangan pendukung lawan politiknya. Anies membiarkan dan menikmati realitas politik segergasi yang akut dan brutal. Menampilkan keakraban luar biasa dengan tokoh dan kalangan Islam yang berlabel intoleran-radikal.

Dari semua sikap dan kiprah politik itu Anies membangun karakter dirinya di persepsi publik sebagai tokoh politik Islam kanan yang segergatif, intoleran dan politisi politik identitas. Dan Anies kemudian menjadi tokoh idola baru kalangan Islam kanan terlebih mereka telah kehilangan sosok pemimpin setelah Prabowo Subinato memilih bergabung dengan kekuatan politik Presiden Joko Widodo.

Ganjar Pranowo

Karakteristik politik Ganjar Paranowo terbangun karena diasosiasikan dengan PDIP, partai yang menaunginya. Selain itu juga Ganjar telah menunjukkan sikap, pikiran dan aksi yang kemudian mengkristal di persepsi publik sebagai tokoh politik nasionalis. Bukan semata tersemat pada Ganjar sebagai tokoh nasionalis tapi juga tokoh nasionalis yang merakyat karena proses interakasinya yang intens dengan rakyat khsususnya rakyat Jawa tengah yang dipimpinnya. Hal itu terlihat dari ragam tayangan di berbagai media yang menimbulkan kecemburuan besar Puan Maharani sehingga dengan lantang menuduhnya sebagai pemimpin yang hanya sukses di medsos bukan pemimpin yang sukses di realitas kinerja seorang pemimpin. Namun justru kritik Puan itu makin menegaskan persepsi publik bahwa Ganjar adalah sosok pemimpin rakyat bukan pemimpin elit seperti Puan Maharani yang berasal dari kalangan bangsawan darah biru Megawati yang berlabel presiden ke-5 dan pemimpin puncak PDIP

Segala serangan kepada Ganjar yang dikomandoi oleh Bambang ‘Pacul’ Wuryanto makin membuat sosok Ganjar kuat dipersepsisebagai pemimpin dari wong cilik, rakyat kecil, orang biasa dan bukan siapa-siapa. Narasi dan aksi politik elit PDIP yang berusaha mendeskreditkan dan mengganjal Ganjar malah menimbulkan reaksi balik yang menumbuhkan besarnya preferensi publik atas Ganjar. Sejatinya publik tidak suka terhadap para pelaku pendeskreditan dan penyerang terhadap tokoh tertentu dan akan berbalik arah malah berempati dan mendukung sang korban sehingga akhirnya membuat elektabilitas Ganjar meroket mencapai 30% lebih di hasil survei terkini berbagai lembaga survei.

Preferensi Alam Bawah Sadar Rakyat

Di tengah hiruk pikuk ragam narasi dan aksi politik terekspresikan secara kasat mata yang mudah ditangkap mata raga. Sekian indikator dukungan kasat mata semacam hasil survei dan deklarasi politik terasosiasikan sebagai sokongan masing-masing pendukung atas Anies Baswedan, Prabowo Soebianto dan Ganjar Pranowo. Namun sejatinya, semua indikator itu tidak hanya bisa dibaca sebagai dinamika fenomena kasat mata karena hanya akan dapat melahirkan konklusi parsial. Fenomena itu harus dibaca lewat perspektif psikologis yang memahami bahwa semua indikator itu itu merupakan refleksi preferensi (selera) alam bawah sadar (tempat terkumpulnya perasaan, pikiran, keinginan, kenangan yang tak disadari) masyarakat Indonesia pada masing-masing tokoh tersebut.

Jika kita mereview sekian perhelatan politik pilpres yang telah lewat maka kita akan menemukan bahwa preferensi alam bawah sadar mayoritas rakyat Indonesia adalah tokoh yang memiliki ciri-ciri karakter tertentu. Pertama, berkarakter sang nasionalis. Hali itu tercermin pada ekspresi politik silent mayority (sekelompok besar diam yang tak spesifik mengekspresikan opini mereka secara terbuka). Mereka tak secara terbuka mengekspresikan pandangan politiknya namun mereka akan datang berbondongbondong mencoblos tokoh yang dipersepsi sebagai sang nasionalis. Terlebih kemudian, preferensi alam bawah sadar nasionalis ini terdukung oleh elemen politik kuat kasat mata yakni para politisi nasionalis yang berjumlah mayoritas dan visi-misi politik kalangan tentara dan polisi. Maka realitas politik alam bawah sadar mayoritas rakyat Indonesia adalah pro sang nasionalis. Siapapun yang dipersepsi publik sebagai tokoh nasionalis akan menang dan sebaliknya tokoh yang bukan nasionalis dipastikan akan kalah.

Maka dari ketiga tokoh bakal capres, Prabowo, Ganjar, maka Anies dan timnya yang paling merasa perlu membranding (membuat merk) dan meframinng Anies sebagai tokoh nasionalis. Karena mereka sadar bahwa Anies lemah di persepsi publik sebagai seorang nasionalis. Anies dan tim sepenuhnya sadar kelemahan karakter nasionalis Anies akibat ulah politik ceroboh yang telah menggunakan metode politik identitas dan politisasi agama di perhelatan pilkada Gubernur DKI pada tahun 2017.

Kedua, preferensi politik alam bawang sadar mayoritas rakyat Indonesia mengarah kepada tokoh muslim moderat. Watak dan karakter kehidupan mayoritas muslim moderat merupakan cermin kesinambungan budaya toleransi-harmonis sejak ratusan tahun lalu yang kemudian cocok dengan spirit keislaman yang wasathon/moderat yang dibumikan di tanah nusantara oleh para Wali Songo. Watak ini menjadi watak mayoritas muslim di Indonesia. Maka pada setiap perhelatan politik para capres menyadari peran signifikan kalangan mayoritas muslim moderatseperti kalangan NU dapat menentukan kesuskesan politik seorang capres.

Prabowo meski pernah memainkan politik identitas yang membuatnya kehilangan suara muslim moderat, telah menyadari kesalahan langkah politiknya seperti tercermin pada statemen Dahnil Azharl Simanjuntak, jubir Prabowo yang mengatakan “Jadi jangan kau pikir dia (Habib Riziek Shihab) menambah suara (Prabowo). Jangan-jangan berkurang gara-gara dia.” Dukungan Habib Riziek dan kalang FPI dianggap malah telah menggerus suara Prabowo. Hal ini mencerminakan kesadaran Prabowo akan pentingnya sokongan suara mayoritas muslim moderat.

Sedang jejak rekam Ganjar lebih dekat dengan kalangan muslim moderat karena faktor hubungan baik dengan kalangan muslim moderat. Masih diitambah lagi dengan watak-karakter politik PDIP yang sangat harmonis dengan kalangan muslim moderat. Sekali lagi, Anieslah yang akan mengalami hambatan besar untuk mendapat sokongan kalangan muslim moderat karena rekam jejak politik identitasnya di pilkada gubernur DKI.

Ketiga, preferensi alam bawah sadar mayoritas rakyat IndonesIa adalah menginginkan tokoh yang merakyat. Kata merakyat adalah narasi dan diksi sakral yang bisa menentukan sang capres memenangkan perhelatan pilpres. Capres yang dipsersepsi publik sebagai tokoh yang merakyat akan mendapat limpahan suara mayoritas rakyat. Itulah mengapa Joko Widodo dapat memenangkan ragam pemilu baik saat pilkada maupun pilpres, itu karena Jokowi dipersepsi sebagai ikon-simbol tokoh merakyat. Karena alasan itu pula, mengapa Jokowi menjelma menjadi tokoh pemimpin besar de facto yang didukung jutaan pendukung di luar pendukung partai yang tergabung dalam puluhan-ratuasan relawan yang kekuatannya dapat menandingi bahkan melebihi kekuatan partai itu sendiri.

Seakan sosok Jokowi memiliki kekuatan supranatural yang dapat menyentuh dan menjamah kedalaman lubuk hati rakyat. Jutaan relawan itu masih setia pada titah Jokowi sampai saat ini. “Merah kata Jokowi, merah kata Projo. Putih kata Jokowi, putih kata Projo. Merah putih kata Jokowi, maka merah putih kata Projo’, demikian yang diungkapkan Arie Setiadi ketua umum relawan Projo. Ini adalah sebuah entitas yang fenomenal dan dahsyat yang pernah dimilik seorang tokoh Indonesia. Fenomena Jokowi ini hanya bisa disaingi oleh kesetiaan-antusiasme rakyat atas ketokohan Presiden Soekarno yang kebetulan keduanya merupakan tokoh nasionalis yang berkataker sama yakni tokoh yang merakyat.

Prabowo meski dipersepsi sebagai tokoh nasionalsi elit, namun masih memiliki para pendukung dari rakyat karena selalu mengasosiasikan dirinya sebagai pewaris spirit perjuanagn Soekarno yang ditunjukkn dengan style pakaian dan gaya retorika politik model Soekarno.

Ganjar akan sangat mudah dipersepsi dan diasosiasikan sebagai tokoh yang merakyat karena gaya dan jejak ragam politiknya. Terlebih ganjar berasal dari partai yang dipersepsi publik sebagai rakyat wong cilik yakni PDIP.

Sebaliknya Anies, akan mengalami kesulitan membranding dirinya sebagai tokoh yang berkarakter merakyat karena minim rekam jejak dalam hal itu. Antusiasme dan sokongan sebagian rakyat Jakarta terhadap Anies lebih terlihat karena faktor stimulasi sentiment politik identitas bahwa Anies sebagai sosok tokoh mewakili kalangan Islam kanan. Bukan refleksi antusiasme rakyat umum. Jejak rekam masa kepemimpinan Anies saat menjadi Gubernur justru membatasi diri untuk mendengar dan melayani keluhan-masalah yang sedang dihadapi rakyat. Berbeda dengan Ahok yang setia mendengar dan mencari solusi masalah yang dihadapi rakyat DKI Jakarta. Momentum antrinya warga DKI setiap pagi di depan Balaikota untuk mengadukan masalahnya kepada sang gubernur di masa Ahok dihilangkan di masa Anies.

Selain itu, Anies membuat kesalahan yang sangat fatal. Anies berusaha membangun kesan bahwa dirinya adalah tokoh opisisi terhadap program dan kepemimpinan presiden Joko Widodo. Anies berusaha memframing dirinya sebagai gubernur DKI yang berbeda dengan Joko Widodo dan Ahok meski seringkali asal beda. Sarat dengan kepentingan politik belaka jauh dari pemenuhan kepentingan warga DKI. Anies sibuk menghentikan pelaksanaan dan mengganti nama program yang telah dilaksanakan Joko Widodo dan Ahok saat memimpin Jakarta. Program normalisasi sungai Jokowi-Ahok diganti dengan program naturalisasi oleh Anies walaupun akhirnya macet tidak jelas. Pembanngunan rumah susun diganti Anies menjadi rumah deret. Pemeliharaan waduk Pluit, waduk Ria Rio terbengkalai. Anies ingin membranding dirinya berbeda dengan Jokowi-Ahok.

Anies membangun karakter dirinya seakan pemimpin oposisi terhadap narasi dan aksi kebijakan Jokowi selaku pemimpin yang merakyat. Akhirnya barangakali fenomena ini seakan menjadi skenario Tuhan untuk menunjukkan bahwa watak kepemimpinan Anies merupakan kebalikan dari karakter pemimpin yang merakyat sehingga Anies dipersepsi publik bukan pemimpin yang merakyat.

Ketika Surya Paloh hendak menggadang-gadang Anies untuk dipasangkan dengan Ganjar sebagai bakal capres-cawapres pemersatu bangsa, maka sejatinya ikhtiar itu telah mencerminkan paradox (bertentangan) politik. Kedua tokoh berdiri di titik sumbu perjuangan politik yang berbeda. Ganjar lahir dan dibesarkan lewat proses politik yang panjang, natural dan merefleksikan preferensi politik alam bawah sadar mayoritas rakyat. Sedang Anies, terutama saat menjadi gubernur DKI Jakarta, dilahirkan dari proses politik penuh gimmick (tipuan) dan bercorak politik brutal yang memanfaatkan politik identitas dan sentiment berbau SARA.

Akhirnya pulung (restu gaib untuk berkuasa) politik itu akan jatuh kepada tokoh yang mewakili preferensi alam bawah sadar mayoritas rakyat Indonesia yang mendambakan pemimpin yang nasionalis, muslim moderat dan merakyat. Semoga. Wallahu’alam bishowwaab.