Humanisme Bung Karno

Putra Sang Fajar alias Soekarno lahir tanggal 6 Juni 1901. Anak yang lahir dari rahim seorang perempuan bernama Ida Ayu  Nyoman Rai ini kelak dikenal sebagai pembaca teks Proklamasi Kemerdekaan.

Sukarno dikenal karena ide-ide nasionalismenya, namun banyak yang tidak menyadari bahwa sikap dan landasan berpikir salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia itu justru berpijak pada humanisme.

Beraneka ragam predikat Bung Karno sering dipaparkan panjang lebar, mulai dari sebagai politisi dan negarawan, sebagai ideologi, pemikir sosial dan individu pecinta wanita yang sangat ekspresif. Namun, sosok Bung Karno sebagai seorang humanis justru jarang dibicarakan.

Demikian kuatnya gagasan humanisme Bung Karno bisa dirunut melalui hasil karya tulisan maupun tindakannya. Humanisme Soekarno ini bisa diuji, baik melalui pemikiran maupun di tingkat praksis.

Pada level pemikiran dan ideologi, tulisan-tulisan Bung Karno sejak 1926 hingga awal 1960-an dengan jelas dipenuhi argumen-argumen humanistik yang tidak saja kuat, tetapi sekaligus konsisten. Cornelis mencontohkan tulisan Bung Karno di Harian Suluh Indonesia Muda, 1926. “Buat saya, maka cinta saya pada tanah air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan bercara manusia. Saya tidak mengecualikan siapapun juga,” tulis Bung Karno.

Dalam kajian Cornelis, Bung Karno sejak awal percaya bahwa humanisme merupakan bingkai nilai ideal yang bersifat universal yang bisa merangkum nasionalisme ke dalam kesatuannya dengan gerak peradaban. Bagi Bung Karno, nasionalisme hanyalah dapat mencapai apa yang dimaksudkannya bilamana bersendikan asas-asas yang lebih suci.