Jokowi Soroti Soal UU ITE, MK Jadikan Kondisi di Singapura dan Belanda Sebagai Rujukan

Grahanusantara.co.id, Jakarta – Dalam putusan MK Nomor 2/PUU-VII/2009 terdapat keterangan ahli pakar hukum dari Belanda Prof Willem Frederik Korthals Altes dan pakar hukum dari Singapura, George Bonaventure Hwang Chor Chee. Keduanya memberikan keterangan ahli secara tertulis ke MK. Berikut ini pendapat mereka:

Prof Willem Frederik Korthals Altes:

1. Berdasarkan pasal-pasal dalam Code of Criminal Law (Wetboek van Straftrecht), di Belanda, dikenal beberapa bentuk pencemaran nama baik (defamation), yaitu: (i) belediging: mengatakan tentang suatu pelanggaran sederhana, baik secara lisan maupun tertulis, (ii) smaad dan jika tertulis smaadschrift, yaitu pelanggaran terhadap kehormatan atau nama baik seseorang, (iii) smaad atau smaadschrift dengan pengetahuan bahwa pernyataan itu tidak benar, (iv) groupsbelediging: di depan umum membuat sekelompok orang sakit hati karena ras, agama, orientasi seks atau cacat fisik atau mental mereka, (v) aanzetten tot haat: hasutan yang menimbulkan kebencian, diskriminasi atau kekerasan terhadap sekelompok orang karena ras, agama, jenis kelamin, orientasi seks atau cacat fisik atau mental mereka, (vii) penerbitan pernyataan-pernyataan yang menyakitkan hati sekelompok orang karena ras, agama, orientasi seks, atau cacat fisik atau mental mereka dan juga mengirimkan pada seseorang hal yang berisi pernyataan tersebut, atau menyebarkan hal tersebut atau memilikinya dengan maksud untuk menyebarkannya, dan (vii) pemfitnahan.

2. Di Belanda, dikenal adanya pembatasan oleh otoritas publik (lembaga eksekutif maupun yudikatif) terhadap kebebasan menyatakan pendapat, pembatasan mana dianggap perlu dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan hak-hak dan nama baik orang lain.

3. Di Belanda, seseorang yang melakukan salah satu dari bentuk-bentuk pencemaran nama baik sebagaimana tersebut dalam butir pertama di atas dengan bantuan internet adalah dapat dituntut atau dihukum.

4. Hoge Raad dalam putusannya pada bulan Maret 2009 telah membebaskan seseorang dari tanggung jawab pidana atas perbuatannya melakukan pencemaran nama baik terhadap sekelompok orang atas dasar orientasi keagamaan mereka. Pertimbangan Hoge Raad adalah karena pencemaran nama baik a quo hanya mengkritik institusi, bukan orang per orang. Dengan perkataan lain, tatkala pencemaran nama baik ditujukan atau menyerang nama baik dan kehormatan orang per orang maka pelakunya dapat dituntut atau dihukum secara pidana.

George Bonaventure Hwang Chor Chee:

1. Di Singapura, hukum tentang pencemaran nama baik berlaku secara sama baik untuk pencemaran nama baik yang dilakukan melalui internet maupun melalui media tradisional.

2. Di Singapura, pencemaran nama baik dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

3. Di Singapura, pencemaran nama baik terbagi menjadi slander dan libel. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa libel terjadi tatkala pencemaran nama baik dilakukan dengan menyebarkan informasi tertulis atau yang dituangkan dalam bentuk permanen.

4. Informasi yang dinyatakan dalam email atau diposting di website maupun web blog atau blog adalah sama dengan informasi atau publikasi dalam bentuk tertulis atau permanen.

5. Di Singapura, pertanggungjawaban perdata atas perbuatan pencemaran nama baik tidak hanya menjerat pembuat pernyataan, melainkan menjerat pula semua pihak yang terlibat dalam mata rantai publikasi pernyataan yang mencemarkan nama baik tersebut.

6. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memiliki ketentuan yang khusus mengatur tentang pencemaran nama baik di internet.

7. Di Singapura, pidana atas perbuatan pencemaran nama baik mencakup hukuman penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun, atau denda atau kedua-duanya.

8. Hukum Singapura tidak menetapkan batas denda tertinggi yang harus dibayar oleh terpidana pencemaran nama baik.

Dalam putusan tersebut, MK menolak permohonan pemohon dan menyatakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE konstitusional.

“Norma Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum,” demikian bunyi putusan MK Nomor 2/PUU-VII/2009, Rabu (17/2/2021).

Selain Mahfud Md, 8 hakim konstitusi lainnya sepakat agar pasal itu tetap ada. Kedelapan hakim konstitusi itu adalah Abdul Mukthie Fadjar, M. Arsyad Sanusi, Maruarar Siahaan, Maria Farida Indrati, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, M Akil Mochtar, dan Harjono.

Pasal 27 ayat 3 UU ITE berbunyi:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.