China Halangi PBB Kutuk Kudeta di Myanmar, Ada Apa?

Grahanusantara.co.id, New York – Pemerintah China menghalangi Dewan Keamanan PBB mengeluarkan pernyataan untuk mengutuk kudeta militer di Myanmar. Dewan Keamanan PBB menggelar rapat terkait Myanmar, Selasa (02/02). Namun mereka gagal menyepakati pernyataan bersama karena China menolak memberikan persetujuan.

Dukungan China terhadap pernyataan bersama itu vital karena mereka memiliki hak veto sebagai anggota permanen Dewan Keamanan PBB. Sebelum rapat digelar, Utusan Khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner mengutuk keras kudeta yang terjadi usai militer menolak mengakui hasil pemilu November lalu.

Schraner mengatakan situasi yang terjadi di Myanmar saat ini merupakan bencana bagi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kii yang memenangkan pemilu.

Adapun G7, kelompok berisi negara-negara dengan ekonomi maju, yaitu Kanada, Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Jepang, Italia, Jerman, dan Uni Eropa, menyatakan sangat mencemaskan demokrasi di Myanmar.

“Kami menyerukan kepada militer untuk segera mengakhiri keadaan darurat, memulihkan kekuasaan kepada pemerintah yang dipilih secara demokratis, membebaskan semua yang ditahan secara tidak adil, dan untuk menghormati hak asasi manusia serta supremasi hukum,” begitu pernyataan resmi G7.

“Melalui kebijakan luar negeri yang bisa dianggap manipulatif, China tampaknya memberi sinyal bahwa mereka diam-diam mendukung, kalau tidak mau dibilang mendukung secara tegas, tindakan para jenderal itu,” kata pakar Myanmar di Universitas Nasional Singapura, Elliott Prasse-Freeman.

“Mereka seperti ingin menyatakan bahwa ini adalah masalah internal Myanmar dan yang mereka saksikan adalah perombakan kabinet, sebagaimana yang dikabarkan media massa milik pemerintah China.”

Walau menurutnya pernyataan PBB tidak akan berdampak langsung, Elliott menyebut langkah itu bisa menjadi langkah pertama untuk menyatukan respons internasional terhadap kudeta di Myanmar.

“Itu tampaknya tidak akan terjadi,” ujarnya.

“Sikap China terhadap kudeta ini konsisten dengan seluruh skeptisisme mereka terhadap intervensi internasional,” kata Sebastian Strangio, penulis dan editor isu Asia Tenggara di The Diplomat.

Selama beberapa hari terakhir, China menyebut sanksi atau tekanan internasional hanya akan memperburuk keadaan di Myanmar. Walau secara strategis mendapatkan keuntungan dari pengucilan Myanmar oleh Barat, menurut Strangio, tidak berarti China menyetujui kudeta itu.

“China memiliki hubungan yang cukup baik dengan Partai NLD dan berinvestasi banyak untuk membangun hubungan dengan Aung San Suu Kyi.”

“Dengan kembalinya militer ke tampuk kekuasaan, sebenarnya China kini harus berurusan dengan institusi di Myanmar yang secara historis paling mencurigai mereka,” kata Strangio.

Sebelum kudeta, Aung San Suu Kyi memimpin pemerintahan yang memenangkan pemilu. Publik tidak lagi melihatnya sejak aparat militer menahannya, Senin (01/02) pagi lalu.

Puluhan orang lainnya juga masih ditahan, termasuk Presiden Win Myint, anggota komite pusat Partai NLD, dan pengacara pribadi Suu Kyi. Mereka dilaporkan dijadikan tahanan rumah.

Partai NLD menuntut militer segera membebaskan pimpinan mereka. Mereka juga meminta militer menerima hasil pemilu November lalu. Dalam ajang itu, NLD memenangkan lebih dari 80% suara.

Sementara itu, pemerintah Amerika Serikat mengatakan gagal menghubungi militer Myanmar. Namun AS secara resmi menyatakan pengambilalihan kekuasaan di Myanmar itu sebagai kudeta. Dengan status itu, AS tidak dapat lagi membantu pemerintahan Myanmar secara langsung, meski sebagian besar bantuan mereka biasanya disalurkan kepada organisasi non-pemerintah.

Uni Eropa, Inggris, Australia dan sejumlah negara lainnya juga mengutuk pengambilalihan oleh militer itu.

Myanmar, yang juga dikenal sebagai Burma, dikendalikan angkatan bersenjata hingga 2011. Pada tahun itu, pemerintahan sipil mengendalikan Myanmar setelah pemilu pertama dalam kurun puluhan tahun.

Kekuasaan negara kini diserahkan kepada panglima tertinggi, Min Aung Hlaing.

Sebelas menteri dan wakil menteri, termasuk di bidang keuangan, kesehatan, dalam negeri dan luar negeri, diganti. Dalam rapat pertama kabinetnya, Selasa (02/02), Min Aung Hlaing berulang kali menyebut bahwa pengambilalihan kekuasaan itu “tak dapat mereka dihindari”.

Setelah kudeta, sebagian besar wilayah Myanmar terpantau relatif tenang. Pasukan militer berpatroli di semua kota besar. Mereka juga memberlakukan jam malam. Myanmar memiliki sejarah panjang pemerintahan militer. Banyak orang di negara itu masih mengingat kudeta yang pernah terjadi sebelumnya.

Selasa malam, warga ibu kota Myanmar, Yangon, membunyikan klakson mobil dan memukul panci di jalanan untuk menunjukkan protes terhadap kudeta.

Sekelompok aktivis menyerukan kampanye pembangkangan sipil. Mereka membuat grup Facebook untuk mengatur strategi.

Pekerja medis di 70 rumah sakit di beberapa kota dilaporkan berhenti bekerja sebagai protes terhadap kudeta. Mereka juga menyerukan kepada militer untuk membebaskan Suu Kyi.

Adapun, ratusan pekerja medis lainnya, termasuk dokter senior, berpartisipasi dalam “gerakan Pita Merah”. Mereka mengenakan pita merah di pakaian mereka untuk menunjukkan bahwa mereka menentang kudeta.

Banyak orang yang mengubah gambar profil media sosial mereka menjadi warna merah. Beberapa petugas medis juga memakai simbol seperti pita hitam sebagai protes tanpa suara.

Myanmar adalah negara berpenduduk 54 juta jiwa yang berbatasan langsung dengan Bangladesh, India, China, Thailand, dan Laos. Pemerintahan Myanmar dikuasai militer dari 1962 hingga 2011. Kebijakan mereka yang dituduh menindas warga sipil menuai kecaman dan sanksi internasional.

Aung San Suu Kyi selama bertahun-tahun mengkampanyekan reformasi demokrasi. Liberalisasi Myanmar akhirnya secara bertahap dimulai pada tahun 2010, walau saat itu pengaruh militer masih cukup besar.

Pemerintahan yang dipimpin oleh Suu Kyi berkuasa sejak pemilu yang berlangsung bebas tahun 2015.

Namun pendekatan keras militer terhadap warga Muslim Rohingya memicu keretakan hubungan Suu Kyi dan komunitas internasional.

Dalam beberapa tahun terakhir, ratusan ribu warga etnis Rohingya mengungsi ke Bangladesh dan sejumlah negara lain.

Bagaimanapun Suu Kyi tetap populer di Myanmar. Partainya menang telak dalam pemilu November lalu. Namun militer kembali turun tangan untuk mengambil alih kekuasaan.